Hidayatullah.com– Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau agar Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengambil keputusan pengujian suatu undang-undang dapat dilakukan secara objektif, bijak, arif, dan aspiratif.
Apalagi, kata Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, Buya Basri Bermanda, jika keputusan itu memiliki dampak strategis, sensitif, dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Maka hendaknya MK membangun konunikasi dan menyerap aspirasi seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan,” ujarnya di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Rabu (17/01/2018).
Hal itu, terang Basri, terkait keputusan MK yang mengabulkan gugatan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
MUI, sambungnya, menyesalkan keputusan itu, dikarenakan juga dalam prosesnya tidak melibatkan otoritas terkait seperti Kementerian Agama (Kemenag) dan majelis ulama.
Basri menjelaskan, pada dasarnya MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan, dan kepercayaan setiap warga negara, karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara.
“Kita sepakat dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi, sepanjang hal itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” paparnya.
Karenanya, ia menyampaikan, terkait hak-hak sipil sebagai warga negara, pembinaan penghayat kepercayaan agar tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.*