Hidayatullah.com– Direktur Eksekutif Center for Information and Development Studies (CIDES) Indonesia, Rudi Wahyono, menilai, dalam membuat sebuah perencanaan pembangunan, seharusnya pemerintah menyesuaikan dengan perubahan iklim.
“Perencanaan Pembangunan seharusnya menyesuaikan atau beradaptasi dengan Perubahan Iklim yang terjadi baik lokal maupun global,” terang Rudi saat menjadi pembicara pada Dialog “Spatial Planning” dalam Rangka Lustrum ke VIII Jurusan Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya di Malang, Jawa Timur, dalam rilisnya kepada hidayatullah.com, Kamis (01/03/2018).
Dalam analisisnya, secara global, perubahan iklim itu telah menimbulkan peningkatan Tinggi Muka Laut (Sea Level Rise) dengan laju kenaikan rata-rata sebesar 3-10 mm per tahun. Hal ini berdampak sangat signifikan pada kota kota tepian air (waterfront city).
Dampaknya, akan terjadi peningkatan fenomena cuaca ekstrem dan berdampak pada ranah sosial ekonomi, yaitu peningkatan urbanisasi dan pertumbuhan penduduk, peningkatan kebutuhan air, pangan, dan ketersediaan lahan.
Baca: Sengketa Agraria Meningkat Diduga Dampak Pembangunan Infrastruktur Masif
Secara jangka panjang, kenaikan muka air laut ini akan membuat kota tenggelam karena penurunan muka tanah (land subsidence) dan pergerakan tanah (land movement).
“Hal itu berdasarkan citra satelit InSar (Interferogram Satelit Aperture Radar). Meluasnya banjir, longsor, serta gempa bumi adalah konsekuensi dari kenaikan muka air laut. Asumsinya, jika terjadi kenaikan 3-10 mm per tahun, maka terjadi land subsidence sebesar 6-100 mm per tahun,” jelas Master Ilmu Lingkungan dari National Cheng Kung University, Taiwan ini.
Beberapa wilayah yang terancam mengalami land subsidence berdasarkan pantauan citra satelit di antaranya adalah Lhoksemauwe, Medan, Jakarta, Bandung, Bopunjur, Pekalongan, Semarang, dan Sidoarjo. Penurunan pun bervariasi mulai dari 4.5 sampai 22.5 cm per tahun.
“Padahal, Jakarta secara kumulatif telah mengalami penurunan muka tanah sebesar 2.000 mm sejak tahun 1900 hingga 2013,” jelas Rudi.
Baca: Hadapi Perubahan Iklim, Pemerintah Diharapkan Lebih Mandiri
Land Subsidence ini kian diperparah dengan semakin rusaknya sistem pengelolaan air di perkotaan. Penyebabnya, ekstraksi air tanah yang berlebihan, penambangan migas dan batubara, gempa tektonik.
Selain persoalan banjir, menurutnya, salah satu indikator kurangnya perencanaan pembangunan dengan berdasarkan perubahan iklim adalah seperti yang terjadi pada kecelakaan infrastruktur di Tol Becakayu pada Selasa (20/02/2018) dinihari lalu. Kecelakaan ini tak kurang membuat tujuh orang pekerja mengalami luka-luka sehingga harus dilarikan ke RS UKI, Cawang, Jakarta Timur.
Menurut pantauan, jelas Rudi, kecelakaan ini terjadi saat wilayah tersebut terjadi peningkatan volume hujan di daerah tersebut, mulai dari malam hingga dini hari.
Baca: Kecelakaan Beruntun Proyek Infrastruktur, ICMI: Audit Menyeluruh
Di saat yang bersamaan, dari sisi ekonomi internasional, negara China sedang melakukan investasi besar-besaran, dari sisi infrastruktur, energi, dan perdagangan.
Seperti dirilis oleh China Investment Bank dan HSBC yang dikutipnya, pada 2018 disiapkan permodalan sebesar 4 triliun USD untuk infrastruktur energi, 2,5 triliun USD per tahun untuk perdagangan, 800 juta USD untuk perencanaan proyek, dan 8 triliun USD untuk proyek-proyek infrakstruktur.
“Dampak dari banjir investasi ini sepertinya sudah terasa di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah maraknya pembangunan di berbagai daerah, termasuk proyek infrastruktur Becakayu.
Sehingga, harusnya investasi tidak melabrak dan memporak-porandakan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang sudah dibuat. RTRW itu juga harus dikaji lagi terutama menyesuaikan dengan perubahan iklim,” tutup Rudi dalam acara pada Senin (26/02/2018) itu.*
Baca: Din Syamsuddin Serukan Aksi Bersama dalam Deklarasikan Perubahan Iklim di Turki