Hidayatullah.com– Direktur Pusdikham Uhamka, Maneger Nasution, menyampaikan harapan kepada Presiden Joko Widodo terkait kasus serangan narapidana di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, dan serangan bom di Surabaya-Sidoarjo, Jawa Timur.
Hal itu terkait dengan kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 Mabes Polri.
“Kalau masih boleh berharap, ada baiknya Presiden berkenan dan berani menjadikan momentum kasus Mako Brimob dan bom gereja Surabaya ini justru untuk mengevaluasi total kinerja BNPT dan Densus 88, bahwa pendekatan deradikalisaai yang dilakukan selama ini kurang msksimal mengurangi apatah lagi menihilkan aksi terorisme,” ujarnya dalam pernyataannya di Jakarta, 15 Mei 2018.
Baca: Soal Konten ‘Radikal’, Menkominfo Beri Karpet Merah Kapolri, BNPT dan BIN
Untuk itu, dipandang mendesak mempertimbangkan perombakan paradigma, model, dan metodologi penanganan kasus-kasus kekerasan dengan melibatkan semua komponen bangsa.
“Presiden boleh dengan rendah hati belanja gagasan dengan masyarakat sipil. Muhammadiyah sendiri punya kajian akademik soal ini,” ujar Maneger yang juga mantan Komisioner Komnas HAM.
Maneger mengatakan, apa yang terjadi belakangan ini, cara kerja teror dan kekerasan rada-rada aneh.
“Saat isu penistaan agama menguat, ia tidak muncul. Saat isu keislaman menguat justru ia muncul mencemarkan nama baik Islam sebagai agama yang karakter dasarnya mengajarkan kedamaian,” imbuhnya.
Secara teori, menurutnya, akar masalah terorisme itu multifaktor. Biasanya kemiskinan dan ketidakadilan sering dipandang sebagai yang dasar. “Itu PR besarnya.”
Baca: Tembak Mati di Tuban, Komnas HAM Duga Densus 88 Menentang Prinsip HAM
Meskipun situasi bangsa mutakhir ini lagi kisruh, tambahnya, akal sehat publik tetap mendesak polisi menyampaikan hasil investigasi secara profesional, objektif dan transparan terkait kasus di Mako Brimob dan Surabaya.
“Terkait kekerasan di Mako Brimob, bom Surabaya, narasi konklusinya tiba-tiba lompat. Sepertinya ada pihak tertentu yang mengggunakan tragedi ini untuk mendorong mempercepat revisi UU Terorisme, bahkan mendorong-dorong Presiden menerbitkan Perppu Terorisme. Semoga Presiden tenang dan tetap menggunakan akal sehat,”ujarnya.
Ia pun mencermati pernyataan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang mendorong Presiden menerbitkan Perppu Terorisme kalau DPR tidak segera mensahkan revisi UU Terorisme.
Baca: Majelis Hukum PP Muhammadiyah Kritik Densus atas Kematian MJ
“Bak gayung bersambut, Presiden tiba-tiba sangat berbafsu ingin menerbitkan Perppu pada Juni 2018, kalau DPR tidak juga mensahkan revisi UU Terorisme pada Mei 2028 ini. Publik seperti terhipnotis. Nyaris tidak ada masyarakat sipil (yang selama ini ‘bertaring’ menyuarakan protes dengan narasi kemanusiaan) yang ‘berani’ nongol.
Ada kekhawatiran, bisa-bisa maksud hati hendak menyuarakan nalar kemanusiaan, tapi justru disalahpahami atau disalahpahamkan oleh sementara pihak, bahkan bisa-bisa dilabeli sebagai ‘pendukung’ teroris,” paparnya.
“Oleh karena itu, mudah-mudahan publik betul-betul masih menggunakan akal sehat, mencermati dengan sangat hati-hati. Orang-orang dalam lingkaran Presiden Jokowi harus menggunakan akal sehat dan memberikan masukan yang komprehensif soal syahwat menerbitkan Perppu Terorisme itu,” lanjutnya.*
Baca: Kerusuhan di Rutan, BWU: Pelajaran Penting Perbaiki Densus 88 dan Brimob