Hidayatullah.com– Partai Komunis China (PKC) atau Partai Komunis Tiongkok (PKT) kembali membuka program “Re-Edukasi” yang telah dihapuskan pada tahun 2013. Informasi yang telah beredar menyebut pembukaan program itu dilakukan oleh Sekretaris PKC Wilayah Xinjiang, Chen Quanguo.
Solidaritas Ormas Islam Kota Surabaya (SOLARIS) menilai, PKC telah menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan nilai-nilai keadaban dan tatanan internasional berdasar aturan.
Tindakan keras besar-besaran PKC pada tahun 2018 ini sungguh di luar batas kemanusiaan. Meliputi penangkapan intelektual independen, pemaksaan masyarakat sipil, serta tindak represi penganut agama dari semua jenis, termasuk Kristen, Buddha Tibet, Buddha China, Muslim Hui, serta Muslim Uighur di seantero pelosok China.
Saat ini, masyarakat internasional meyakini ratusan ribu, dan bahkan mungkin lebih dari dua juta orang, telah terseret ke kamp penahanan massal di Turkistan Timur (Xinjiang) sejak April 2017. Dalih RRC bahwa upaya tersebut dilakukan untuk program “Re-Edukasi” dalam bentuk “Sekolah Vokasional” dinilai jelas merupakan dalih untuk menutupi aneka tindak kekerasan terhadap warga sipil. Lebih dari 12 bulan kamp-kamp ini tidak bersifat sementara. Lokasi ini sudah mirip kamp konsentrasi.
Sebagaimana diketahui, model dan teknologi yang mendukung penindasan massal di Xinjiang sudah diluncurkan ke bagian lain RRC. Wilayah Xinjiang telah menjadi laboratorium penindasan, dan hasilnya sudah dirasakan di Ningxia dan di tempat lain.
Bahkan, otoritas Hongkong mengumumkan bahwa mereka akan mengirim delegasi ke Xinjiang untuk mempelajari model pengawasan ala RRC di sana. Untuk menutupi tindak kekerasan itu, RRC telah menyebarkan propaganda sesat bertajuk “Separatisme”, “Meredam Terorisme”, bahkan isu “Kemerdekaan Uighur”. Semua isu sesat ini dihembuskan rezim Beijing guna menutupi tindak kekerasan yang dilakukannya.
Oleh karena itu, Solidaritas Ormas Islam Kota Surabaya menyatakan, pertama, segera hentikan segala tindak kekerasan terhadap warga/komunitas Uighur di Provinsi Xinjiang, RRC. Program “Re-Edukasi” RRC terhadap warga Uighur pada dasarnya adalah bentuk ”Kamp Konsentrasi” abad 21 yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, Solidaritas Ormas Islam menuntut Pemerintah Republik lndonesia wajib segera bersikap dalam kasus penindasan Uighur ini sebagai pelaksanaan bunyi alinea pertama Undang-Undang Dasar 1945, yakni “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. “Alinea ini bersifat universal, oleh karena itu, segala tindakan tak berperikemanusiaan dan berperikeadilan terhadap bangsa Uighur harus dipertanyakan di forum internasional,” dalam pernyataannya di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (28/12/2018).
Baca: Konjen China Tak Terima Perwakilan Aksi Bela Uighur di Surabaya
Ketiga, Solaris mendesak PBB agar segera menurunkan tim pencari fakta (fact findings team) ke Provinsi Xinjiang demi menegakkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
“Negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Internasional (OKI) wajib ikut serta dalam upaya mencari fakta tersebut demi menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan serta keadilan,” serunya.
Kemudian, Solaris menolak tenaga kerja China (TKC) yang disebut telah membanjiri berbagai pengerjaan proyek di Indonesia dan boikot produk-produk RRC.
“Kelima, kembalikan hak-hak Bangsa Uighur. Hak untuk hidup layak, hak kebebasan untuk berekspresi tanpa waswas dicurigai, dan hak kebebasan beragama,” pungkasnya.
Anggota Solaris antara lain Muhammadiyah Surabaya, Al-Irsyad Surabaya, FPI Surabaya, GUIB (Gerakan Umat Islam Bersatu) Jawa Timur, dan berbagai ormas lainnya.*