Hidayatullah.com-Menkopolhukam Wiranto beberapa waktu lalu menantang pensiunan Jenderal TNI Kivlan Zen melakukan sumpah pocong. Sebab ia dituding Kivlan sebagai dalang kerusuhan Mei 1998.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar merasa kasihan dengan Wiranto. Selevel Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, kata Haris, kok masih menggunakan sumpah pocong untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
“Apa pantes dia jadi Menko?” ujarnya kepada para wartawan termasuk hidayatullah.com usai mengisi acara diskusi Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, pada Selasa (05/03/2019).
Ia mengibaratkan Wiranto seperti katak dalam tempurung. “Menurut saya orang yang masih nganggep pakai sumpah pocong untuk nyelesein pelanggaran HAM berat, dia ibarat katak dalam tempurung lapis tujuh. Jadi dia kaga tahu nih ada apa.”
Haris memprotes Presiden Joko Widodo yang mengangkat orang yang diduga paling bertanggung jawab dalam peristiwa pelanggaran HAM menjadi Menkopolhukam. Wiranto ini, kata Haris, tidak bisa ke mana-mana karena namanya tersandung laporan PBB.
“Jadi dia mau pakai penjelasan hukum PBB, dia kena. Akhirnya dia pakai sumpah pocong. Karena di dalam aturan hukum sumpah pocong, ga ada dalil yang bilang Wiranto bersalah. Makanya dia cari aturan hukum yang enggak nyebut nama dia,” ujarnya.
Padahal, tutur Haris, tema pelanggaran HAM berat sudah cukup mendunia dan dibahas di mana-mana. Seperti di ruang peristiwa pelanggaran HAM, komunitas korban, ruang pengadilan, dan di PBB.
Karenanya, kata dia, aturan hukum pelanggaran HAM juga sudah jelas dan presedennya sudah di mana-mana seperti di Rwanda dan Kamboja.
“Bahkan PBB lewat International Law Commission (ILC) sudah punya kajiannya tentang crimes against humanity. Crimes against humanity bagian dari pelanggaran HAM berat,” katanya.
Dan Indonesia, tambah Haris, juga sudah punya Undang-Undang soal pelanggaran HAM, sudah punya institusi pengadilan HAM, dan laporan-laporan penyelidikannya juga sudah ada.
“Hanya tinggal dikit. Tetapi jadi batu sandungan yang amat sangat luas. Yaitu si kejaksaannya yang enggak mau kerja. Jaksa agungnya males. Kedua, presidennya gak paham dan gak mau tahu. Jadi soal HAM itu hanya dipakai untuk kelengkapan kampanye 5 tahun yang lalu,” kritiknya.
Selebihnya, lanjut Haris, Indonesia sudah punya sejumlah modal hukum di bidang HAM yang tinggal digunakan saja.* Andi