Hidayatullah.com– Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan mengawal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Anggota Komisi Fatwa MUI Badriyah Fayumi mengatakan, untuk mengawal perjalanan RUU P-KS ini agar sesuai dengan tujuan mulia dan sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam, maka ia merekomendasikan agar tim khusus yang telah dibentuk MUI untuk mengawal RUU ini diharapkan terus mengikuti perkembangan pembahasan di DPR dan perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Tim diharapkan mengundang dan melakukan dialog dan kajian mendalam dengan berbagai pihak yang terkait, terutama korban, pendamping korban (pendampingan hukum, psikologis, kesehatan, ekonomi, pendidikan, juga pendampingan agama dan spiritual), ahli hukum pidana, ahli legal drafting, ahli tata negara, pemerintah dan lembaga terkait, dan tentu saja fukaha dan ulama (laki-laki dan perempuan) yang memiliki concern dan kompetensi khusus mengenai substansi dan norma yang dibahas dalam RUU.
“Tim juga perlu mengundang para pengusul RUU ini,” sarannya dalam acara Mudzakarah Hukum Tingkat Nasional MUI di Jakarta, Sabtu (23/03/2019).
Baca: Iskan: RUU P-KS beri Ruang Zina dan Penyimpangan Seksual
Kata Badriyah MUI memberikan perhatian serius terhadap kekerasan seksual dan prihatin dengan makin meningkatnya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Menurutnya, RUU itu sebagai bentuk perlindungan negara kepada korban kekerasan seksual yang masih belum cukup terlindungi oleh berbagai UU yang ada.
“MUI memiliki alasan filosofis, sosiologis, dan yuridis mengenai perlu adanya payung hukum yang secara sistematis dan komprehensif mencegah dan menangani kekerasan seksual, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan, dan pada saat yang sama menjadi instrumen untuk membangun individu, keluarga, masyarakat dan bangsa yang beradab dan terlindungi dari ancaman kekerasan seksual,” jelasnya
Karenanya, ia memberi catatan, RUU P-KS ini harus dibahas secara cermat dan hati-hati serta perlu sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya dan sesuai dengan prinsip ajaran agama yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
“Dari pandangan tersebut, MUI menyarankan DPR untuk menunda pembahasan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dengan pemerintah dan membuka ruang partisipasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat melalui berbagai forum,” sarannya.
MUI, kata Badriyah, diharapkan membuat DIM yang dapat diusulkan ke DPR setelah melakukan kajian mendalam dan komprehensif sebagaimana disebutkan pada poin di atas.
Menurutnya, mengingat masyarakat luas masih sering mendapatkan informasi yang simpang siur mengenai RUU ini, dan banyak beredar draf yang dianggap bukan draf sesungguhnya dengan segala dampaknya, maka ia mengimbau agar seluruh pengurus MUI di pusat maupun daerah dalam merespons wacana yang berkembang perlu mengacu pada draf yang dibahas di DPR dan pandangan dan sikap MUI yang resmi.
“Sehingga wacana publik mengenai RUU ini berjalan wajar dan proporsional, serta tidak memancing keresahan dan kegaduhan,” tutupnya.
Sementara itu, Sekretaris MUI Jawa Timur Ainul Yaqin memandang, naskah RUU P-KS yang ada sekarang tidak menyelesaikan berbagai kejahatan seksual, salah satunya masalah prostitusi.
“Ada satu sisi yang tidak tergarap terkait persoalan prostitusi,” ujarnya dalam Mudzakarah MUI Pusat Komisi Hukum dan Perundang-Undangan di Kawasan Slipi, Jakarta Barat, Sabtu (23/03/2019). Ainul menjelaskan, sebenarnya undang-undang yang sangat dibutuhkan adalah yang mengatur masalah seksual yang tidak hanya pada kekerasan seksual.* Andi, INI