Hidayatullah.com– Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dalam kritik panjangnya terhadap proyek One Belt One Road (OBOR) -lebih anyar disebut Belt and Road Initiative (BRI)- menilai, proyek tersebut bernilai tambah hanya menguntungkan China.
Nilai tambah itulah salah satu alasan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menilai bahwa Memorandum of Understanding (MoU) terkait proyek OBOR/BRI antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat China perlu ditinjau ulang.
Menurutnya, ada beberapa alasan kenapa nota-nota kesepahaman itu perlu ditinjau kembali dan diberi supervisi oleh Pemerintah.
Pertama, meski disebut kerja sama “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), namun kerja sama ini tidaklah gratis.
“Proyek-proyek tersebut mensyaratkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan China, juga menggunakan alat-alat, barang-barang serta tenaga kerja dari China. Nilai tambah kerja sama ini hanya menguntungkan China,” ujarnya, Senin (13/05/2019) lewat kultwitnya.
Baca: Fadli: OBOR berpotensi Memperlemah Kedaulatan Ekonomi & Politik RI
Kedua, tambah Fadli, adanya potensi jebakan utang yang kemudian terkonversi jadi penguasaan sumber daya. Bercermin dari pengalaman Srilanka, atau Djibouti di Afrika Timur, proyek-proyek infrastruktur yang gagal bayar pada akhirnya jatuh ke penguasaan China.
“Kita tentu tak ingin kawasan-kawasan strategis atau infrastruktur-infrastruktur strategis yang sedang kita bangun nantinya dikuasai asing,” imbuhnya.
Ia memaparkan panjang lebar. Sebagai catatan, selain Srilanka dan Djibouti, saat ini ada delapan negara yang telah terlilit jebakan utang China, yaitu Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Sejauh ini Pakistan adalah korban jebakan utang yang paling parah.
Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai US$ 62 miliar, atau sekitar Rp 900 triliun. Pemerintah China mengambil 80 persen dari seluruh proyek yang sebagian besar berupa proyek pembangkit listrik tersebut.
Penolakan dan koreksi perjanjian dagang dengan China juga telah dilakukan pemerintah Malaysia di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohammad. Mereka berhasil merevisi perjanjian terkait proyek pembangunan jaringan kereta api pantai timur (ECRL) yang dianggap merugikan kepentingan nasional Malaysia yang sebelumnya telah diteken oleh pemerintahan Najib Razak yang korup dan penuh skandal itu.
Pada masa pemerintahan PM Najib Razak, proyek kereta api tersebut diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp 225 triliun. Sesudah diancam akan dibatalkan oleh Mahathir, nilai investasi proyek itu bisa dipangkas tinggal Rp 151 triliun saja.
“Kita berharap Pemerintah (Indonesia) juga berani memberikan tekanan serupa kepada China, bukannya membiarkan kepentingan kita yang ditekan oleh China,” imbuh Fadli.
Baca: Multaqo Ulama Aswaja Tolak Proyek OBOR yang Diteken RI-China
Menurutnya, Indonesia tentu harus menghormati RRC yang kini telah menjadi negara adidaya baru. “Namun, di sisi lain, kita juga harus mewaspadai segala politik ekspansionis yang merugikan kepentingan nasional.”
Bagaimanapun, proyek OBOR pertama-tama mewakili kepentingan China yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim. Meskipun kemudian istilah OBOR telah diperhalus menjadi BRI, karena telah memancing reaksi serius di negara-negara Barat.
“Namun tetap saja inisiatif BRI masih dilihat oleh para pengamat Barat sebagai Kuda Troya untuk mengukuhkan dominasi China dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka.
Kita perlu mempertimbangkan semua perspektif mengenai hal ini. Apalagi, kita punya pengalaman tak menyenangkan dengan model kerjasama Turnkey Project yang memberi karpet merah bagi pekerja kasar China masuk ke Indonesia,” masih paparnya.*