Hidayatullah.com– Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa sebanyak 97.000.000 orang penduduk Indonesia telah terpapar asap rokok. Bahkan diprediksi angkanya lebih dari itu. Data ini berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013.
Sementara jumlah perokok di Indonesia semakin meningkat. Kecenderungan peningkatan prevalensi merokok terlihat lebih besar pada kelompok anak-anak dan remaja. Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi merokok penduduk usia 18 tahun dari 7,2% menjadi 9,1%.
Hal ini merupakan ancaman serius yang sedang dihadapi Indonesia. Dimana prevalensi perokok laki-laki di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia dan Kemenkes memprediksi lebih dari 97 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok.
Demikian dipaparkan Menteri Kesehatan Nila F Moeloek pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), di kantor Kemenkes, Jakarta, Kamis (11/07/2019). Kajian Badan Litbangkes Tahun 2015 menunjukkan Indonesia menyumbang lebih dari 230.000 kematian akibat konsumsi produk tembakau setiap tahunnya.
Baca: Kemendagri Imbau Pemda Terapkan Kawasan Tanpa Asap Rokok
Globocan 2018 menyatakan, dari total kematian akibat kanker di Indonesia, kanker paru menempati urutan pertama penyebab kematian yaitu sebesar 12,6%. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan 87% kasus kanker paru berhubungan dengan merokok.
Dalam berbagai riset, diketahui bahwa faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) utama yang bisa dicegah bersama adalah perilaku buruk merokok.
”Rokok merupakan faktor risiko penyakit yang memberikan kontribusi paling besar dibanding faktor risiko lainnya. Seorang perokok mempunyai risiko 2 sampai 4 kali lipat untuk terserang penyakit jantung koroner dan memiliki risiko lebih tinggi untuk terserang penyakit kanker paru dan PTM lainnya,” ungkap Menkes lansir Kementerian.
Menurut data dari Tobbaco Control Support Center pada 2015 dikutip Kementerian Dalam Negeri, konsumsi rokok rata-rata per orang per hari pada 2013, yaitu 12,3 batang atau 369 batang per bulan.
“Konsumsi tembakau ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku merokok. Perilaku merokok berkaitan dengan kemiskinan lantaran karena untuk membeli rokok, seorang individu maupun keluarga harus mengurangi penggunaan sumber daya yang terbatas untuk keperluan lain yang lebih penting seperti pendidikan, makanan berkualitas, dan pelayanan kesehatan,” ujar Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Muhammad Hudori dalam acara yang sama.
Baca: Hasil Penelitian PKJS UI: Bantuan Sosial Tunai Dorong Konsumsi Rokok
Selain perokok aktif, yang juga rentan terdampak asap rokok adalah perokok pasif, alias mereka yang tidak merokok tapi terpapar asap rokok.
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), meninggalnya Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, setelah diserang kanker akibat rokok, merupakan salah satu korban keganasan asap rokok di tempat kerjanya.
“Kini Indonesia adalah darurat kanker! Mengingat prevalensi kanker malah meningkat menjadi 1.8 persen (Riskesdas 2018). Padahal pada Riskesdas 2013, prevalensi kanker di Indonesia hanya 1.4 persen. Dan salah satu pemicu dan pencetus tingginya prevalensi kanker adalah asap rokok. Akankah putra putri terbaik bangsa Indonesia terus bertumbangan oleh penyakit kanker, dan asap rokok menjadi tersangka utamanya?” ungkap Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi kepada hidayatullah.com, Senin (08/07/2019).
Baca: Studi Teranyar: 17 Orang Mati Setiap Hari Karena Rokok
Oleh karena itu, YLKI mendesak pemerintah Indonesia agar segera membuat “peta kanker” seperti yang katanya dilakukan oleh pemerintah China pada tahun 1960-an. Peta kanker tersebut dinilai sangat penting, sebagai basis (dasar) pembuatan peta jalan penanggulangan kanker di Indonesia. Sehingga penyakit kanker tidak kian mewabah.
Selain itu, YLKI menilai, mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan kebutuhan mutlak dan sangat mendesak menjadikan semua tempat kerja dan tempat umum sebagai area KTR, tanpa kompromi.
“Pimpinan dan semua pihak harus mewujudkan area KTR, khususnya di tempat kerja, tempat umum, dan angkutan umum. Bahkan sangat mendesak mewujudkan rumah sebagai KTR. Sebab merokok dalam rumah sama artinya melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) bagi penghuni rumah, karena menyebarkan racun mematikan ke seluruh penghuni rumah,” ujarnya.
Ironisnya, kata Tulus, banyak kantor pemerintah dan pejabatnya tidak memberikan contoh kepatuhan bahwa secara regulasi tempat kerja adalah area KTR.
“Banyak kantor kantor pemerintah yang pimpinan dan stafnya klepas klepus merokok di tempat kerja yang tertutup. Dan almarhum Pak Sutopo adalah salah satu korban keganasan asap rokok di tempat kerjanya. Pak Sutopo adalah korban egoisme bahkan sadisme dari lingkungan kerjanya yang membara oleh asap rokok,” ungkapnya.
Kemendagri telah mengimbau setiap kepala daerah agar menerapkan kawasan tanpa rokok di daerah masing-masing, dimana hal itu merupakan kewajiban yang diamanatkan undang-undang.* SKR