Hidayatullah.com– Perilaku belanja berbasis daring (online, eccommerse) semakin menjadi kegandrungan masyarakat, khususnya bagi kalangan generasi muda milenial.
Harga yang lebih efisien (murah) menjadi pertimbangan utama, apalagi masih diiming imingi diskon, cash back, pay later, dan lain sebagainya.
Tak mengherankan jika strategi marketing, iklan, dan promosi para pelaku market place di Indonesia semakin ofensif menjerat calon konsumennya.
Menurut Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), salah satu bentuk strategi marketing yang ofensif itu adalah Hari Belanja Online Nasional (HARBOLNAS), setiap tanggal 11 November.
Menurutnya, belanja online banyak sisi positifnya, seiring dengan keniscayaan fenomena ekonomi digital. Akan tetapi, banyak pula catatan terkait hal ini, terkhusus pada aspek perlindungan konsumen.
Antara lain, kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, konsumen tetap harus mengedepankan perilaku belanja yang kritis dan rasional.
“Belanjalah berdasar pada kebutuhan (need) bukan keinginan (want). Jangan terjerat bujuk rayu diskon, sebab banyak diskon hanyalah gimmict marketing, alias diskon abal abal.
Cermatilah bentuk bentuk diskon yang diberikan, termasuk jenis barang yang diberikan diskonnya. Konsumen juga jangan makin konsumtif berbelanja dengan iming iming paylater, yang pada akhirnya akan terjerat hutang,” ujar Tulus kepada hidayatullah.com Jakarta, Ahad (10/11/2019) dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu, menurut YLKI, konsumen juga harus mengedepankan kewaspadaan dan ekstra hati hati dalam belanja online. Seperti, mencermati profil pelaku usaha dari market place yang menawarkan belanja online yang bersangkutan.
“Jangan sampai konsumen dirugikan oleh transaksi belanja online dari market place yang tidak kredibel. Alih alih konsumen malah tertipu,” ujarnya.
Sebab, berdasar data pengaduan YLKI selama lima tahun terakhir, pengaduan belanja online selalu menduduki rating tiga besar. Dan ironisnya, kata Tulus, prosentase pengaduan tertinggi yang dialami konsumen adalah barang tidak sampai ke tangan konsumen.
“Artinya masih banyak persoalan dalam belanja online dalam hal perlindungan konsumen,” imbuhnya.
Di sisi lain, YLKI menilai para pelaku market place harus mengedepankan strategi promosi, iklan, dan marketing yang bertanggung jawab, dan menjunjung etika bisnis yang fairness, dan mematuhi regulasi yang ada.
“Bukan malah sebaliknya, iklan dan promosi yang membius konsumen yang beda beda tipis dengan aksi penipuan,” imbuhnya mengingatkan.
YLKI menilai, pemerintah harus secara ketat mengawasi praktik belanja online, khususnya oleh Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Otoritas Jasa Keuangan, Badan POM, dan kementerian/lembaga lainnya yang berkompeten.
“Kuatnya fenomena belanja online, ironisnya, justru tidak paralel dengan kuatnya pengawasan oleh pemerintah,” imbuh Tulus.
Oleh karenanya, dari sisi regulasi, tambah Tulus, sangat mendesak untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi, dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Belanja Online.
“Kedua regulasi inilah yang akan secara kuat memayungi konsumen dalam transaksi belanja online. Jika kedua regulasi ini tidak segera disahkan, sama artinya pemerintah melakukan pembiaran terhadap berbagai pelanggaran hak konsumen dalam transaksi belanja online,” pungkasnya.*