Hidayatullah.com– Ketua Bidang Pekerja Petani Nelayan DPP Partai Keadilan Sejahtera Riyono menegaskan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja -sebelumnya RUU Cilaka- jangan sampai mengorbankan pekerja, terutama perlindungan dan kesejahteraannya, cuma demi menggenjot pertumbuhan ekonomi lewat masuknya investasi.
Oleh karena itu, PKS mendesak pemerintah Joko Widodo supaya mencari terobosan lain dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi guna menciptakan lapangan kerja, tanpa mengorbankan perlindungan dan kesejahteraan kaum buruh.
Riyono menegaskan hal di sela sela FGD mengenai RUU Omnibus Law Ciptaker di Gedung DPP PKS, Jakarta Selatan, Senin (24/02/2020).
Riyono menilai bahwa pemerintah harus serius menghilangkan hambatan utama investasi yang ternyata bukan masalah perburuhan, melainkan masalah korupsi, inefisiensi birokrasi, akses ke perbankan, infrastruktur, instabilitas pemerintahan, tarif pajak dan inflasi.
Ia pun mengkhawatirkan didorongnya pasar kerja yang fleksibel tapi minim perlindungan. Pasal 89 poin 12 telah menghapus pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003, yang dengan sendirinya menghapus aturan pembatasan untuk pekerja kontrak. Itu berarti, kalau pada UU Nomor 13 Tahun 2003 ada batasan untuk jenis pekerjaan yang boleh merekrut pekerja kontrak, maka berdasarkan RUU Ciptaker ini batasan itu hilang dan semua jenis pekerjaan bisa mempekerjakan pekerja kontrak.
Pasal 89 pain 13 huruf c pada RUU Ciptaker, lanjutnya dirilis PKS, juga telah mengubah pasal 61 dari UU 13/2003 bahwa perjanjian kerja berakhir dengan berakhirnya suatu pekerjaan. Tanpa penjelasan Iebih Ianjut, hal ini dinilai akan mengakibatkan semakin sedikit pekerja tetap dalam sebuah perusahaan. Pengusaha dapat setiap saat melakukan pengurangan pekerja dengan alasan penurunan order atau pekerjaannya sudah habis.
“Konsep fleksibilitas labor market masih memungkinkan dilaksanakan ketika ditopang o|eh program jaminan sosial yang kuat serta subsidi yang kuat bagi buruh dan rakyat kecil seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis dan perumahan murah serta transportasi murah yang memadai, sehingga bisa menekan biaya pengeluaran buruh dan masyarakat. Namun tanpa kesiapan untuk melaksanakan hal tersebut seperti kondisi sekarang ini, tentunya hal seperti ini harus ditinjau ulang,” paparnya.
Riyono mengaku bahwa ia memahami sikap buruh yang melakukan penolakan terhadap draf RUU Omnibus Law Ciptaker, sebab isinya tidak memberikan rasa keadilan dari pemerintah yang hanya berpihak pada kepentingan pengusaha saja dan mengabaikan perlindungan kaum buruh.
Ia pun mengatakan, saat dikuranginya tingkat kesejahteraan buruh seperti upah akan berdampak pada penurunan kualitas upah dan penurunan daya beli masyarakat. Hal ini mengakibatkan tidak terserapnya produk-produk industri dan jasa serta UKM, yang kemudian berakibat pada stagnannya perekonomian nasional.
Justru, tambahnya, dalam kondisi saat ini, pemerintah selain perlu memberikan perlindungan kepada para pengusaha seperti kebijakan infrastruktur, logistik, perbankan dan subsidi bahan bakar, juga perlu pemerintah meningkatkan daya beli buruh dan konsumsi rumah tangga yang menjadi faktor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan daya beli buruh formal yang kini berkumlah 55 juta orang, katanya, perlu dilakukan melalui peningkatan upah buruh yang akan berdampak pada peningkatan ekonomi nasional.*