Hidayatullah.com- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengaku setuju jika Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) -sebelumnya RUU Cilaka- dibilang jelek.
Akan tetapi, Mahfud menganggap, menjadi tak baik saat kritikan itu sudah disertai dengan kecurigaan yang berlebihan sebelum membaca isi draf Omnibus Law itu.
Hal itu disampaikan Mahfud saat membuka Forum Komunikasi dan Koordinasi Peningkatan Peran Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta.
Mahfud mempersilakan masyarakat untuk mengkritisi Omnibus Law RUU Cipta, tetapi menurutnya jangan disertai dengan kecurigaan yang berlebihan.
“Mari diskusi, saya setuju saja dengan orang yang mengatakan itu UU omnibus law itu jelek, ya, enggak apa apa, maka diperbaiki. Mumpung ini masih dibahas,” ujarnya, Selasa (10/03/2020) kutip Antaranews.com.
Baca: INDEF Kritik Omnibus Law Ciptaker “RUU Cipta Tenaga Kerja Asing”
Menurut Mahfud, pemerintah cuma ingin menyederhanakan aturan untuk mengundang investasi di Indonesia. Oleh karena itu, Mahfud menyarankan mereka yang menolak RUU Ciptaker agar membaca terlebih dulu isinya.
“Baca dulu, baru berdebat. Ya, saya melihat ada kesalahan-kesalahan di UU itu, biar diperbaiki, ada DPR kan nanti, masih lama ini. Belum apa-apa ‘tolak, ini kapitalisme baru’ dan macem-macem,” sebutnya.
Menurut mantan Ketua MK ini, Omnibus Law dibuat dalam rangka menyederhanakan berbagai aturan yang selama ini tumpang tindih dalam pelaksanaannya, tak cuma pada bidang ketenagakerjaan.
Misalnya, sebut Mahfud, Omnibus Law Keamanan Laut yang juga sedang disusun untuk menyederhanakan aturan dalam pengelolaan keamanan laut, yang selama ini ditangani oleh 7 institusi berbeda.
“Anda masuk ke laut saja diperiksa oleh tujuh institusi. Sudah selesai di sini, ternyata belum selesai bea cukainya, oh belum imigrasinya, sudah selesai imigrasi, oh perhubungannya belum,” sebutnya.
Baca: Ketua Serikat Buruh Sebut RUU Ciptaker Ciptaan Pengusaha
Begitu pula menurutnya dengan RUU Ciptaker, jangan kemudian katanya kehadiran regulasi itu dicurigai untuk membukakan pintu kepada bangsa tertentu untuk berinvestasi.
“Ada yang mengatakan itu untuk memberikan pintu kepada bangsa tertentu, enggak ada. Ketika bicara Ombibus Law ndak ingat sama sekali siapa yang mau investasi itu, enggak urusan China, ndak ada,” klaimnya.
RUU Ciptaker hingga saat ini terus menuai penolakan oleh berbagai pihak, baik pegiat halal, para buruh, dan lain sebagianya.
Baca: Prof Baharun: RUU Ciptaker Berpotensi Benturkan 60-an Ormas Islam di MUI
Sebelumnya diberitakan hidayatullah.com, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengkritik Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) -yang sebelumnya Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka).
“Judul omnibus-nya saja sudah salah. Seharusnya bukan Omnibus UU Cipta Kerja tapi Cipta Tenaga Kerja Asing,” ujar Bhima pada acara Expert Group Discussion bertajuk “Omnibus Law RUU Tentang Cipta Kerja: Untuk Siapa?” di Aula DPP PKS, Jakarta Selatan, Senin (24/02/2020).
Sedangkan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Muhammad Baharun menyoroti pasal-pasal dalam Omnibus Law yang memberi wewenang kepada ormas-ormas Islam untuk membuat fatwa dan menguji laporan masyarakat tentang produk halal.
Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, sebelumnya Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), menuai polemik dan protes banyak pihak, antara lain karena RUU Ciptaker mengubah Pasal 33 Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Baca: Ketua Serikat Buruh Sebut RUU Ciptaker Ciptaan Pengusaha
Prof Baharun mengatakan, di MUI saja sebenarnya sudah ada sekitar 60 ormas Islam yang berpegang pada madzhabnya masing-masing. Oleh karena itu, RUU Ciptaker ini sangat berpotensi membenturkan ormas yang satu dengan yang lain.
“Di MUI sendiri tidak pernah ada fatwa individual, semuanya fatwa jama’i, kolektif, sehingga tidak ada lagi perdebatan. Apabila RUU (Ciptaker) ini diteruskan, tentu akan membuat lebih gaduh dan kelak tidak akan ada kesepakatan fatwa. Saya rasa ini fatwa halal tetap harus ada di MUI,” ujar Baharun di Jakarta beberapa waktu lalu.*