Hidayatullah.com–Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok, yang menjadi kepala pemerintahan menyusul digulingkannya Omar al-Bashir dari kursi kepresidenan tahun lalu, selamat dari upaya pembunuhan di ibu kota Khartoum.
Hamdok lolos dari maut tanpa terluka dari ledakan yang menarget konvoi kendaraannya di Khartoum hari Senin 9 Maret saat sedang menuju kantornya, kata para pejabat dan media.
“Sebuah ledakan menghantam mobil yang dikendarai PM Abdalla Hamdok, tapi syukur pada Allah tidak ada yang terluka,” kata kepala staf kantor perdana menteri Ali Bakhit seperti dilansir RFI (9/3/2020).
Petang harinya lewat Twitter, PM Hamdok mengatakan bahwa dia baik-baik saja , dan menegaskan bahwa apa yang terjadi hari itu tidak menghalangi perubahan yang sedang diupayakan di negeri itu dan justru kejadian tersebut menjadi penyemangat perubahan di Sudan.
Gambar-gambar yang ditayangkan di televisi pemerintah menunjukkan sedikitnya dua kendaraan rusak di lokasi kejadian yang berada di distrik Kober, bagian timur ibu kota.
Media melaporkan Hamdok dalam keadaan baik dan diungsikan di tempat aman. Salah satu laporan di radio pemerintah menyebutkan senjata semi otomatis digunakan dalam serangan itu dan bahwa Hamdok dibawa ke rumah sakit.
Setelah Bashir berkuasa melalui kudeta militer yang didukung kelompok-kelompok Muslim pada 1989, Sudan menjadi musuh internasional atas dukungannya terhadap milisi-milisi Muslim.
Usai Bashir digulingkan oleh militer pada April 2019, angkatan bersenjata Sudan enggan menyerahkan kekuasaan ke tangan sipil.
Hamdok ditunjuk sebagai PM pada bulan Agustus 2019 sebagai bagian dari pembagian kekuasaan militer-sipil. Jabatannya bagian dari dewan bersama militer dan sipil yang beranggotakan 11 orang yang bertugas membentuk pemerintahan Sudan sampai tiga tahun ke depan.
Hamdok belum lama ini memastikan bahwa pemerintah Sudan akan bekerja sama dengan International Criminal Court (ICC), yang berupaya menyeret ke meja hijau Bashir dan orang-orang yang dianggap bersalah melakukan kejahatan perang dan genosida di kawasan Darfur pada tahun 2000-an.
Pemerintahan transisi yang dipimpin Hamdok sebagai PM mendapat tekanan untuk mengakhiri perang dengan kelompok-kelompok pemberontak, mendatangkan dana bantuan asing dan mewujudkan demokrasi yang dijanjikannya.
Menyusul pemisahan Sudan Selatan sebagai negara tersendiri, Sudan mengalami krisis perekonomian yang parah. Pasalnya, selain negara itu menghadapi banyak sanksi internasional, Sudan kehilangan sebagian besar sumber utama pendapatan negara berupa minyak. Sebagaimana diketahui, sebagian besar sumur dan ladang minyak itu sekarang menjadi milik Sudan Selatan.
Pada tahun 2019, tingkat pengangguran di Sudan lebih dari 22 persen. Pemerintah mengatakan 30 persen pemuda, yang mencakup setengah dari 42 juta populasi negara, tidak memiliki pekerjaan.*