Hidayatullah.com- Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa penanganan pemerintah terhadap virus corona jenis baru (Covid-19) lambat dan salah arah.
Sudah begitu, tambah Koalisi, penanganan tersebut juga minim pengawasan oleh DPR RI.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil meminta DPR menghentikan pembahasan segala RUU dan fokus pada pengawasan penanganan Covid-19 oleh Pemerintah.
“Alih-alih melakukan pengawasan terhadap penanganan Covid-19, DPR malah sibuk membahas berbagai RUU yang sudah ditolak masyarakat seperti Omibus Law dan RKUHP, ” bunyi pernyataan Koalisi di Jakarta, Ahad (12/04/2020) diterima hidayatullah.com semalam.
Sudah lima pekan sejak pasien positif Covid-19 pertama diumumkan Pemerintah. Selama waktu tersebut Indonesia baru mengkonfirmasi hasil positif tes PCR kepada sekitar 3.842 orang, kata Koalisi.
Sementara itu, tambahnya, tidak ada data yang dipublikasikan terkait jumlah orang yang masih menunggu hasil tes. Apabila hal ini dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, artinya sedikit sekali masyarakat Indonesia yang telah dites.
Pada pertengahan Maret, melalui juru bicara gugus tugas COVID-19, pemerintah menyatakan pentingnya pelaksanaan tes massal, dan karenanya memesan puluhan bahkan ratusan ribu alat Rapid Test berbasis serologi dari China.
“Namun sayang, belum ada kepastian jumlah data warga yang sudah dites beserta penanganan lanjutannya yang diinformasikan kepada publik.”
Koalisi menyatakan, implementasi tes masih berjalan lambat. Pelaksanaan tes PCR yang hanya masih dilakukan oleh 18 laboratorium membuat pemerintah tidak bisa bergerak cepat mendeteksi warga yang positif terinfeksi virus corona.
“Akibatnya penanganan pasien yang belum mendapat akses untuk dites menjadi lamban yang berujung pada risiko kehilangan nyawa. Pengumuman hasil tes yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat menghambat penanganan medis oleh tenaga kesehatan di lapangan, ” sebutnya.
Selain itu, beberapa kali bagian dari lembaga pemerintah, bahkan Presiden dan juru bicara gugus tugas COVID-19 memberikan pernyataan tentang adanya perbedaan data. Pernyataan-pernyataan terkait data seperti ini, tambahnya, membingungkan masyarakat dan bisa mengurangi kepercayaan terhadap akurasi data yang disampaikan pemerintah secara resmi.
“Padahal data kondisi terkini sangat diperlukan untuk membuat kebijakan yang tepat,” sebutnya.
Koalisi menyatakan, tidak transparannya metode testing dan hasilnya, yang dilakukan pemerintah memperburuk sisi akuntabilitas negara dalam menangani pandemi ini.
Ditambahkan pula, hasil tes yang terlambat bahkan baru keluar setelah orang yang dites meninggal dunia meningkatkan kerentanan dan berpotensi memperluas penyebaran Covid-19.
“Banyak orang yang sebenarnya positif Covid-19 tetapi karena hasil tes belum keluar diminta pulang ke rumahnya.
Akibatnya dalam perjalanan pulang dan selama berada di rumah yang bersangkutan berpotensi menyebarkan virus ke orang-orang yang ditemuinya dan meningkatkan resiko kematian jika ia positif Covid-19,” sebutnya.
Koalisi menyinggung belum adanya tes massal. Rapid test yang selama ini dilakukan terbukti tidak akurat. “Oleh karena itu tes massal hanya berupa rapid test terbukti tidak akan menyelesaikan masalah justru membuang-buang anggaran, waktu, dan tenaga. Dan berujung pada penanganan serta kebijakan yang tidak tepat,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Koalisi menyatakan bahwa Pemerintah perlu memastikan adanya tes PCR secara massal.
“Pemerintah perlu memastikan laboratorium tes PCR tersebar di semua wilayah dan dengan perhatian khusus epicenter pandemi seperti Jabodetabek,” tambahnya.
Koalisi juga menyatakan, pemerintah perlu membuat prosedur tes PCR yang memudahkan semua kalangan, memprioritaskan mereka yang rentan terekspos virus, dan tidak mendahulukan orang-orang tertentu karena jabatan, kelas sosial atau kekayaan. *