Hidayatullah.com– Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami kontraksi akibat pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal itu seiring dengan prediksi berbagai lembaga dunia, seperti Oxford Economics, yang memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh minus 6,1 persen.
Menanggapi kondisi itu, Ketua DPR periode 2009-2014 Marzuki Alie akan menuntut kapabilitas pemerintah dalam mengatasinya.
Menurut Dewan Pengawas Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (APPERTI) ini, krisis 2020 dapat dilalui tergantung beberapa hal.
Antara lain, katanya, pertama, seberapa lama pandemi Covid-19 dapat diselesaikan.
Kedua, seberapa banyak korban jatuh di Indonesia.
“Ketiga, seberapa efektif kebijakan pemerintah mengatas pandemi ini dan dampaknya seperti jutaan UMKM yang ikut terdampak,” ujarnya pada Seminar Nasional Online Seri Covid-19 bertema “Outlook Ekonomi 2020-2024 : Harapan dan Kenyataan Ekonomi Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19”, Kamis (18/06/2020).
Hal lainnya, tambah Marzuki, yaitu seberapa jauh pemerintah berani untuk menunda proyek-proyek yang memberikan return tidak dalam waktu singkat, sehingga mengurangi beban fiskal dan defisit yang terus berlangsung.
Baca: Rizal Ramli: Setop dulu Proyek Ibu Kota Baru yang Tak Jelas itu
Setali tiga uang dengan Marzuki, Prof Dr Carunia Mulya Firdausy, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan dampak Covid-19 terhadap ekonomi makro.
Dosen Pasca Sarjana Institut Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI) ini memaparkan, pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2020 misalnya hanya tumbuh 2,97% (year-on-year/yoy) lebih rendah dari perkiraan Bank Indonesia (BI) di 4,4% (yoy).
Di lain pihak, sebutnya, aggregate demand juga anjlok. Konsumsi rumah tangga menurun menjadi 2,84% (yoy), lebih rendah dibandingkan capaian triwulan IV 2019 sebesar 4,97% (yoy). Investasi tumbuh melambat sebesar 1,7% (yoy), APBN defisit mencapai 6,34 persen PDB atau setara Rp. 1.039 Triliu. Dan, ekspor neto tumbuh 0,24 % dan impor kontraksi 2,19 % (yoy).
Menyikapi kekhawatiran terjadinya krisis tahun, pengamat ekonomi politik, Rizal Ramli, menilai, keberpihakan pemerintah kepada sektor riil menjadi kuncinya.
Menurutnya saat ini pemerintah justru kurang menunjukkan keberpihakan kepada usaha kecil. Dilihat dari statistik kredit perbankan misalnya.
“Dari seluruh bank kita kredit kecil hanya 17 persen, yang besar 80 persen. Ya harusnya kita geser dari 17 persen menjadi 20-25 persen dalam setahun. Karena, kalau yang besar-besar, banyak caranya dia bisa mendapatkan investasi, pinjaman luar negeri, terbitkan obligasi, dan lain-lain,” jelas Rizal pada diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Taufan Maulamin, Direktur Pascasarjana Institut Stiami sebagaimana dirilis Institut STIAMI. Acara ini digelar Pascasarjana Institut Stiami bekerja sama dengan APPERTI dan Center for Public Policy Studies (CPPS).*