Hidayatullah.com—Undang-Undang Cipta Kerja baru saja disahkan, Senin 05 Oktober 2020 lalu. Regulasi kontroversial ini dibahas di hotel secara maraton, drafnya tidak pernah dibuka untuk publik, rapat malam-malam, lalu disahkan terburu-buru di tengah merebaknya Covid-19. Gelombang penolakan telah muncul sejak pertama kali undang-undang ini diusulkan oleh Presiden Joko Widodo.
Di balik pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja ini, terdapat kepentingan besar para pebisnis tambang, guna mendapat jaminan hukum untuk keberlanjutan dan keamanan bisnisnya.
Berdasarkan analisis profil para satgas dan anggota Panja Omnibus Law DPR, terungkap 12 aktor penting yang memiliki hubungan dengan bisnis tambang terutama batu bara. Hal itu katakan Jurubicara Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah, Jumat (09/10/2020).
“Terdapat 12 aktor intelektual yang tersebar dan memiliki peran serta fungsi berbeda di Satgas dan Panja DPR UU Cilaka. 12 orang itu, antara lain Airlangga Hartarto, Rosan Roeslani, Pandu Patria Sjahrir, Puan Maharani, Arteria Dahlan, Benny sutrisno, Azis Syamsudin, Erwin Aksa, Raden Pardede, M Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar, dan Lamhot Sinaga,” ungkap Merah Johansyah melalui keterangan tertulis yang diterima Hidayatullah.com, Jumat (09/10/2020).
Melalui sejumlah elite politik dan pebisnis di Satgas dan Panja Omnibus, kepentingan itu dikejar, dan berhasil diperoleh dengan disahkannya RUU Omnibus Law itu di DPR RI.
Adapun 12 orang itu kata Johan antara lain Airlangga Hartarto, Rosan Roeslani, Pandu Patria Sjahrir, Puan Maharani dan Arteria Dahlan. Lalu Benny Sutrisno, Azis Syamsudin, Erwin Aksa, Raden Pardede, M Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar, dan Lamhot Sinaga.
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang berperan sebagai orang yang membentuk tim Satgas Omnibus, misalnya, terhubung dengan PT Multi Harapan Utama, sebuah tambang batubara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Luas konsesi PT MHU mencapai 39.972 hektar atau setara dengan luas kota Surabaya. Catatan Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur pada 2017, PT MHU meninggalkan 56 lubang bekas tambang yang tersebar di Kutai Kartanegara, dan salah satu lubang tambangnya di Kelurahan Loa Ipuh Darat, Kilometer 14, menewaskan Mulyadi, pada Desember 2015.
Rosan Roeslani, Ketua Kadin yang juga Ketua Satgas Omnibus Law terhubung dengan 36 entitas bisnis, mulai dari perusahaan di bidang media, farmasi, jasa keuangan dan finansial, properti, minyak dan gas, hingga pertambangan batubara. Rosan juga tercatat sebagai anggota Indonesia Coal Mining Association.
Pada saat Pemilu Presiden 2019, Rosan menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin. Saat itu, ketua dari Tim Kampanye dijabat oleh Erick Thohir, yang merupakan sahabat dekat Rosan sejak masa sekolah.
Sementara itu Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR RI, terkait dengan perusahaan pertambangan batu bara melalui kedekatannya dengan bekas Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari yang saat ini sudah menjadi terpidana korupsi. Menurut laporan Coalruption, Rita mengangkat Azis sebagai komisaris perusahaan tambang batu bara milik ibunya, Sinar Kumala Naga.
Adapun lainnya lanjut Johan, mereka memiliki fungsi dan peran yang berbeda, beberapa tergabung dalam Satgas, Panja, hingga Pimpinan DPR RI. Hasil penelusuran #BersihkanIndonesia, mereka memiliki hubungan dengan bisnis tambang dan energi kotor batubara baik langsung maupun tidak langsung, secara pribadi, baik sebagai pemilik, komisaris hingga direksi.
UU Cipta Kerja hanyalah satu di antara UU kontroversial lainnya yang dalam waktu sangat singkat diusulkan, dibahas dan disahkan oleh kekuatan oligarki yang terkonsolidasi di pemerintahan dan DPR. Sebelumnya telah ada 4 produk hukum kontroversial lain yang dibahas dengan pola serupa, tertutup dan terburu-buru: UU KPK, Perppu Covid, UU Minerba, dan UU MK.
Sementara itu, Anggota Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha juga mengatakan UU Cipta Kerja adalah salah satu skenario oligarki untuk terus menimbun kekayaannya. Pengesahan UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa para oligark kini telah memperkokoh posisinya, dan skenario mereka telah berjalan dengan sempurna. Apalagi, saat ini KPK juga sudah dilemahkan.
“Mereka telah membuat peraturan yang dengan sengaja menguntungkan bisnis yang mereka miliki. Ini adalah bentuk sebuah korupsi sistemik, yang dapat dikategorikan tindakan kejahatan serius,”ujarnya.
Menurut Egi, ada sebuah desain besar yang dipersiapkan sejak awal rezim ini terbentuk untuk mengambil keuntungan pribadi dengan mengorbankan rakyat dan kekayaan alam Indonesia. Ini wajar sekali terjadi kalau melihat bagaimana rekatnya relasi para penyusun undang-undang ini dengan pelaku usaha, bahkan mereka sendiri merupakan pebisnis yang akan diuntungkan dari terbitnya Omnibus Law.
Selain itu, Iqbal Damanik, Direktur Tambang dan Energi Auriga Nusantara mengaku pihaknya telah melakukan penelusuran terkait anggota Panja. “Penelusuran kami mencatat setidaknya 57% anggota panja sendiri merupakan pelaku usaha. Selain itu, kami juga menemukan bahwa sebagian dari barisan para aktor ini pernah tercatat sebagai mantan tim sukses dan tim kampanye pada Pemilihan Presiden 2019 lalu,”Ujar Iqbal.
Selanjutnya, konflik kepentingan akan mendorong pejabat publik mengambil keputusan dan kebijakan yang tidak berdasar pada kepentingan publik. Konflik kepentingan yang melandasi lahirnya UU Cipta Kerja ini telah mengubah struktur esensial dari negara demokratis menjadi negara berwatak oligarkis, yang tidak lagi melayani kepentingan publik. Dengan demikian, telah terjadi pengkhianatan terstruktur melalui penyanderaan institusi publik dan regulasinya, sehingga keduanya berubah menjadi alat untuk menguntungkan kepentingan segelintir orang dan kelompok belaka.
Hal lain juga disampaikan oleh Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Ikim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara. Ia membeberkan para aktornya,yang terlibat konflik kepentingan, menghasilkan kebijakan yang juga hanya menguntungkan mereka. Dari catatan kami ditemukan sejumlah pasal-pasal sektor pertambangan dan energi yang ada di dalam UU Cipta Kerja yang menguntungkan perusahaan-perusahaan tambang dan batubara.
“Omnibus Law juga merupakan penanda krisis demokrasi dan tegaknya pemerintahan despotik yang terus memperkuat kepentingannya dengan memperlemah suara rakyat,” kata Tata Mustasya.* Azim Arrasyid