Hidayatullah.com- Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon, turut menyoroti kepemimpinan pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin untuk setahun ini. Ia menilai banyak kemunduran yang dialami negara dalam satu tahun belakangan ini.
“Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, rakyat dan negara sama-sama memikul beban yang kian berat. Kalau diminta menilai perjalanan setahun terakhir, apalagi enam tahun terakhir, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, cukup jelas saya melihat ada banyak sekali kemunduran yang telah kita alami,” kata Fadli melalui Twitter-nya, Selasa (20/10/2020).
Dalam setiap cuitan tersebut, Anggota DPR ini selalu menambahkan hashtag #SatuTahunJokowiMaruf. Tidak ketinggalan Fadli juga menyinggung pernyataan Presiden yang merasa tidak memiliki beban. Sebab sudah memasuki periode keduanya.
“Tahun lalu, Presiden @jokowi mengatakan bahwa ia tak punya beban apapun di periode kedua pemerintahannya. Sayangnya, yang merasa tak punya beban sepertinya hanyalah Presiden. Sementara, rakyat dan negara bebannya justru kian bertambah,” tulisnya.
Politisi Partai Gerindra ini membeberkan tiga poin kritis melalui utas tersebut. Pertama kata Fadli adalah beban utang negara yang dinilai terdapat salah hitung dan salah atur. Hal ini tak luput dari posisi Indonesia yang masuk dalam 10 besar negara dengan utang tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah yang laporannya dirilis Bank Dunia.
Selain itu, Fadli juga menyoroti terbitnya Global Bond sebesar 4,3 miliar dolar Amerika dengan tenor 30 tahun, yang berarti jatuh tempo utang pemerintah adalah di tahun 2050. “Jadi, jangankan mengurangi beban rakyat dan negara, pemerintahan saat ini justru sedang melarikan sebagian persoalan menjadi beban bagi anak cucu kita nanti. Warisan gunungan utang,” tulisnya.
Selanjutnya, poin kedua adalah tentang hukum. Fadli menilai tatanan hukum di pemerintahan sekarang telah rusak. Pola kerusakan itu, lanjut Fadli, terlihat secara jelas. Terlebih mengenai karut-marut penyusunan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
“Saya melihat pola penerbitan regulasi emacam itu bukanlah bentuk terobosan hukum, melainkan bentuk perusakan hukum. Sejauh yang bisa saya pelajari, Omnibus Law di negara lain paling banyak mengubah 10 undang-undang,” terangnya.
“Tapi, kebanyakan kurang dari itu. Itupun, ini perlu digarisbawahi, sebagian besar proses perumusan Omnibus Law umumnya hanya mencakup satu isu atau bidang saja, bukan menerabas berbagai bidang secara semena-mena,” jelasnya.
Hal itu kemudian menurut Fadli, Omnibus Law adalah bentuk konsolidasi kekuasaan di tangan Presiden.
Sementara itu, terakhir ketiga yang dinilai jadi beban negara adalah tentang perpecahan. Hal ini masih menjadi beban karena Fadli menilai pemerintah masih bermain dengan isu sensitif berbau agama.
“Menteri Agama, misalnya, berkali-kali membuat umat Islam marah karena sejumlah ucapan dan kebijakannya. Pancasila, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, melalui draf RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) malah membuat marah banyak orang,” sebut Fadli.
Dari poin ini, Fadli Zon menemukan sisi ironis yang ditunjukkan oleh pemerintah. Ia menyebut pemerintah justru menolong para taipan bukan menolong rakyat kecil.
“Ironisnya, pemerintah terkesan menggunakan pandemi justru sebagai momen menolong para taipan dan pengusaha, bukan menolong rakyat kecil. Stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), misalnya, 24 persennya digunakan untuk menolong korporasi. Hanya 12 persen saja yang digunakan untuk belanja kesehatan. Itukan ironis,” ungkapnya.
Terakhir, Fadli Zon menyampaikan bahwa seharusnya Jokowi di periode kedua ini melakukan rekonsiliasi.
“Seharusnya di periode kedua ini Presiden @jokowi belajar membangun pemerintahan yang berusaha untuk melakukan proses rekonsiliasi, bukan malah kian mempertajam segregasi,” pungkasnya.* Azim Arrasyid