Hidayatullah.com– Anggota DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf mendesak pemerintah agar segera mencabut “Israel” dari daftar penerima pelayanan calling visa ke Indonesia. Hal tersebut perlu dilakukan dalam upaya menjaga wibawa dan integritas pemerintah dalam percaturan politik global, mengingat Indonesia sejak lama memiliki garis politik luar negeri yang tegas terhadap isu penjajahan “Israel” terhadap Palestina.
Ketua DPP PKS ini melayangkan kritik keras atas keputusan pemerintah Indonesia membuka pelayanan calling visa bagi warga negara “Israel”, sebab ia menilai kebijakan tersebut mengabaikan amanat konstitusi.
Anggota Komisi VIII DPR ini menilai kebijakan itu kontradiktif dengan komitmen Presiden Joko Widodo yang secara tegas mendukung kemerdekaan Palestina. Sikap tegas tersebut disampaikannya saat menyampaikan pidato untuk pertama kalinya di Sidang Majelis Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 23 September 2020 silam. Dalam pidatonya, Presiden mengungkapkan bahwa Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya.
“Pertanyaannya adalah, apakah Presiden mengetahui tindakan anak buahnya (Kemenkum HAM, red) tersebut? Saya justru curiga bahwa tindakan ini dilakukan sepihak tanpa sepengetahuan Presiden bila mengacu pada sikap dukungan yang telah Presiden tunjukan selama ini terhadap isu Palestina,” ujar Bukhori di Jakarta dalam keterangan kepada media (02/12/2020).
Pada dasarnya, ia mengaku tidak keberatan dengan kebijakan calling visa sepanjang mengecualikan “Israel” dari daftar tersebut. Dengan tetap membuka calling visa, ia akui akan membuka peluang investasi lebih luas.
“Namun, saya mengingatkan supaya pemerintah lebih cermat dalam menentukan negara prioritas dan tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kepercayaan rakyat Indonesia dan umat Muslim dunia, terhadap komitmen Indonesia untuk menjadi bangsa yang terdepan dalam membela nilai perikemanusiaan dan perikeadilan bagi bangsa Palestina,” ujar Bukhori
Selain itu, tambahnya, Indonesia tidak akan mengalami kerugian dari segi ekonomi, apalagi dikatakan melanggar HAM dengan mengecualikan “Israel” dari daftar tersebut. Pasalnya, “Israel” tidak termasuk dalam jajaran investor terbesar di Indonesia dan negara zionis penjajah tersebut terbukti memiliki catatan buruk tentang penegakan nilai HAM.
Melansir data dari BKPM pada tahun 2019, Singapura, China, dan Jepang menempati posisi tiga teratas sebagai 10 negara investor terbesar di Indonesia. Sementara, tidak ada satupun negara dari kawasan Timur Tengah yang tercantum di dalam daftar negara investor, termasuk “Israel”.
“Kebijakan tersebut adalah bentuk pengkhianatan pemerintah terhadap Pembukaan UUD 1945. Padahal, konstitusi kita menegaskan supaya penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Mirisnya lagi, keputusan tersebut tidak merepresentasikan aspirasi dan kehendak tulus dari masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, yang sejak lama konsisten memihak pada kemerdekaan Palestina,” tegas Bukhori.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ia mengatakna, jika keputusan tersebut nyatanya atas restu dan sepengetahuan Presiden, maka sikap Presiden Jokowi bertentangan dengan founding father, Bung Karno, yang memiliki komitmen kuat atas kemerdekaan Palestina.
“Sebab, konsekuensi politik dari membuka hubungan dengan Israel berarti mengakui eksistensi negara tersebut. Artinya, pemerintah mengakui penjajahan Israel kepada Palestina yang sampai saat ini belum merdeka sepenuhnya,” ujar mantan Anggota Komisi III ini.
Apalagi, lanjutnya, sikap pemerintah Indonesia tersebut patut dicurigai sebagai kompensasi atas rencana investasi Uni Emirat Arab (UEA) ke Indonesia. Pasalnya, UEA adalah negara pertama di kawasan Timur Tengah yang akhirnya memutuskan normalisasi hubungan dengan “Israel” di abad 20 ini.*