Hidayatullah.com- Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Politik Hukum dan Keamanan Sukamta menyatakan, FPKS menyebut normalisasi hubungan dengan ‘Israel’ haram hukumnya.
Pernyataan PKS ini katanya disampaikan menanggapi terus beredar pernyataan dari pihak-pihak di luar negeri seperti Dubes ‘Israel’ untuk Singapura Sagi Karni dan Chief Executive Officer U.S. International Development Finance Corporation, Adam Boehler yang terus menyuarakan bahwa Indonesia akan mendapatkan bantuan dan akan memberikan dampak ekonomi jika melakukan normalisasi hubungan dengan ‘Israel’.
“Saya berharap pemerintah tidak tergiur bantuan ekonomi. Harga diri bangsa dan cita-cita pendiri bangsa terlalu murah dijual atas nama kepentingan ekonomi. Pemerintah indonesia harus terus berkomitmen dengan garis politik luar negeri yang menolak segala bentuk penjajahan.
Upaya melakukan normalisasi hubungan dengan negara penjajah, ini jelas bertentangan dengan amanat pembukaan UUD NRI 1945. Komitmen Presiden Jokowi yang berulang kali disampaikan bahwa pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina harus kita dukung dan kawal terus,” ujar Sukamta kepada hidayatullah.com, Rabu (23/12/2020) dalam keterangannya.
Anggota Komisi I DPR RI ini menilai, apapun bentuk kerja sama dengan ‘Israel’ yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia akan mencederai cita-cita para pendiri bangsa dan umat Islam.
Merujuk pada pernyataan pihak-pihak luar negeri dan langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia, Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri DPP PKS ini juga mengkritisi gerak pemerintah akhir-akhir ini yang bersamaan dengan hari-hari terakhir Presiden Amerika Serikat Donald Trump lengser.
“Semestinya pemerintah Indonesia menunggu presiden baru, policy maker baru bukan malah seperti kejar tayang. Langkah-langkah pemerintah tidak etis secara diplomatik dan terkesan ada target terselubung yang dikejar untuk diselesaikan,” sebut Sukamta.
Ia menilai normalisasi yang telah terjadi antara ‘Israel’ dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko tidak hanya bermotif ekonomi tetapi juga ada agenda politik yang saling bertautan.
“Saya kira jelas ada kepentingan Amerika Serikat untuk memperkuat posisi di Timur Tengah dan Laut Mideterania yang mulai terusik oleh kekuatan Rusia, Turki dan juga China melalui Inisatif Sabuk dan Jalan (BRI). Sementara UEA, Bahrain, dan Maroko punya kepentingan untuk memperkuat posisi secara regional.
Situasi ini bisa jadi akan melemahkan upaya menghidupkan peta jalan damai Palestina – Israel dan kemerdekaan Palestina. Hal ini mengingat dalam soal Palestina, Amerika sering menentang keputusan PBB dan lebih memihak kepada Israel,” ujarnya.
Menjelang akhir kepemimpinan Donald Trump, pemimpin-pemimpin Amerika Serikat dan ‘Israel’ terus berusaha mendorong banyak negara yang bersedia melakukan normalisasi hubungan dengan ‘Israel’. Setelah Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko melakukannya dalam beberapa bulan terakhir. Berbekal iming-iming bantuan ekonomi, investasi bahkan kompensasi geopolitik.*