Hidayatullah.com- Belakangan ini masyarakat mengeluhkan kelangkaan kedelai dan produk turunannya seperti tahu dan tempe di pasaran. Di Kabupaten Cibinong dan Kota Depok, Jawa Barat, misalnya, berdasarkan pantauan hidayatullah.com, beberapa hari ini tempe dan tahu sulit didapatkan di warung-warung yang biasanya menjual tempe dan tahu setiap hari.
Menyikapi kondisi ekonomi yang dirasakan menyulitkan rakyat kecil tersebut, PP Muhammadiyah meminta pemerintah agar turun tangan mengatasinya.
“Kalau harga kedelai naik maka biaya produksi dari para pembuat tempe dan tahu tentu akan meningkat. Kalau biaya produksi mereka meningkat tentu harga jual mereka juga harus meningkat. Tapi kalau harga jualnya meningkat maka daya beli masyarakat tentu akan menurun sehingga keuntungan dari produsen dan pedagang tahu serta tempe tersebut akan menurun,” ujar
Ketua Bidang Ekonomi PP Muhammadiyah Anwar Abbas dalam pernyataannya diterima hidayatullah.com, Senin (04/01/2021).
Sementara itu, Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta memastikan bahwa para perajin tahu- tempe telah melakukan mogok produksi mulai malam tahun baru atau 1-3 Januari 2021.
Hal itu sebagai respons perajin atas melonjaknya harga kedelai sebagai bahan baku tempe-tahu, dari Rp 7.200 per kilogram menjadi Rp 9.200 per kilogram.
“Pembuat tempe mogok, (harga) kedelai naik,” keluh salah seorang penjual sayur mayur dan lauk-pauk di Cibinong, Bogor, kepada awak hidayatullah.com yang singgah di warung tersebut, Ahad (03/01/2021).
Situasi yang terjadi, Anwar Abbas menilai tentu akan sangat berdampak atau berpengaruh kepada tingkat kesejahteraan para produsen dan para pedagang tahu dan tempe serta kepada warga masyarakat. Sebab, mereka tidak lagi mampu membeli sesuai dengan kebutuhan pokoknya.
“PP Muhammadiyah meminta pemerintah untuk secepatnya mengatasi masalah ini agar dunia usaha dan kehidupan ekonomi masyarakat kembali menggeliat serta tidak ada yang dirugikan,” ujar Buya Anwar, sapaannya.
Muhammadiyah meminta pemerintah menindak tegas jika ada pihak-pihak yang melakukan praktik-praktik tidak terpuji dengan melakukan penimbunan dan atau melakukan spekulasi dalam masalah perkedelaian.
“Dan menggiring mereka ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman yang sesuai dengan besar dan dampak buruk dari kesalahannya,” imbuhnya memungkas.
Sementara itu sebelumnya, Puskopti DKI Jakarta telah mengajukan tiga tuntutan para perajin tahu-tempe kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pertama, kata Sekretaris Puskopti DKI Jakarta Handoko Mulyo, meminta agar tata niaga kedelai di pegang pemerintah bisa menjaga stabilitas harga, sehingga memberikan kenyamanan bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) tahu-tempe yang jumlahnya sangat besar.
Ini karena gejolak harga kedelai malah akan menyulitkan para produsen tahu-tempe, serta dapat membebani keuntungan pedagang.
Kedua, meminta pemerintah agar merealisasikan program swasembada kedelai yang sudah dicanangkan sejak 2006. Hal ini guna mengurangi ketergantungan industri tahu-tempe dalam negeri dari kedelai impor.
Hal itu katanya bisa saja diatasi dengan produksi tahu menggunakan kedelai dalam negeri, dan produksi tempe menggunakan kedelai impor. Tentunya pengaturan penggunaan kedelai hanya dapat diatur pemerintah. Menurutnya, swasembada kedelai bukan berarti anti-impor, tetapi untuk menyeimbangkan.
Ketiga, meminta pemerintah agar segera mengevaluasi hasil produksi kedelai lokal, yang selama ini data statistik menunjukkan produksi kedelai lokal rata-rata mencapai 800.000-900.000 ton. Angka produksi itu disebut sangat jauh dari kebutuhan kedelai dalam negeri. Menurut analisa pihaknya, jumlah produksi kedelai lokal jauh api dari panggang.
Berdasarkan data Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) dikutip Kompas.com, diperkirakan kebutuhan kedelai untuk produksi para anggotanya sekitar 150.000-160.000 per bulan. Ini berarti, setiap tahun kebutuhan kedelai berkisar 1,8 juta-1,92 juta ton.*