Hidayatullah.com–Ketua MUI Pusat, KH. Ma’ruf Amin mengaku tidak bisa memberi komentar soal penembakan terduga teroris yang dilakukan oleh tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Ia mengatakan demikian lantaran tidak mengetahui situasi sebenarnya yang terjadi di lapangan.
Kendati begitu, agar tidak menimbulkan banyak asumsi publik, dia meminta pihak Kepolisian untuk menjelaskan kronologis kejadian tersebut. Dengan begitu, maka akan jelas alasan dan risiko yang dihadapi polisi saat melakukan aksi di lapangan.
“Apakah tindakan (penembakan, red) bisa diterima atau tidak?” ujarnya kepada hidayatullah.com.
Ia menambahkan, dengan penjelasan tersebut, setidaknya akan menjadi bahan penilaian bagi para ahli. “Kalau saya tidak bisa memberikan komentar,” ulangnya lagi.
Ma’ruf menjelaskan, dalam menangani kasus terorisme tersebut setidaknya ada dua cara; represif dan preventif. Tindakan represif biasa dilakukan oleh pihak Kepolisian. Juga bisa dilakukan banyak pihak, tak terkecuali MUI sendiri.
Menurutnya, MUI telah melakukannya dengan mengeluarkan fatwa haram terorisme. Tidak hanya itu, dialog keagamaan telah banyak ditempuh dan disosialisasikan.
Lebih jelas ia mengatakan, paham terorisme itu muncul karena adanya paham distorsi radikalisme terhadap tafsir agama. Dan itu, terjadi hanya pada sebagian kecil umat Islam. Karenanya, jangan sampai hal tersebut digeneralisasikan atau bahkan menjadi stigma bahwa Islam agama teror. “Islam bukan agama teror,” jelasnya.
Karena itu, ia mengatakan, seharusnya frekuensi preventif melalui dialog-teologis lebih ditingkatkan. Dalam hal ini, sinergitas dan peran ormas Islam harus ditingkatkan. Sebab, hal itu setidaknya bisa meminimalisasi paham distorsi radikalisme.
Pelanggaran HAM Berat
Menurut Komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, Densus 88 telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) berat, menyusul aksi main tembak terhadap sejumlah terduga teroris. Selain melanggar UU, penembakan hingga tewas itu juga bisa menyuburkan terorisme.
”Penembakan yang dilakukan Densus 88 terhadap mereka yang diduga teroris adalah pelanggaran HAM berat dan sudah semestinya dihentikan,” kecam Saharuddin Daming, Selasa (18/5).
Dalam UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ia menjelaskan, semua orang semestinya diadili dalam peradilan yang adil dan tak sepihak untuk membuktikan kesalahan. Sementara, tindakan Densus 88 belakangan ini dipandang sebagai bentuk extra judisial killing atau pembunuhan di luar pengadilan.
Daming juga berpendapat, pembunuhan di lapangan terhadap para pelaku teroris sejatinya bisa dihindari oleh polisi. Alasan kepolisian bahwa ada perlawanan di lapangan, hanya justifikasi terhadap penembakan itu.
”Secara pribadi saya terus terang tidak percaya bahwa perlawanan yang dilakukan teroris harus diakhiri dengan penembakan,” tegasnya. [ans/Rep/hidayatullah.com]