Hidayatullah.com–Kiai Abdul Qadir Djaelani tak hanya tegas dan berani di atas mimbar, namun ia juga seorang pemikir yang banyak melahirkan karya tulis. Keberaniannya berpadu dengan kecerdasannya.
“Usia saya sudah 70 tahun lebih, tetapi sampai saat ini, saya masih merindukan mati syahid,” ujar Abdul Qadir Djaelani, saat berceramah di Masjid Al-Barkah, Kota Bekasi, Jawa Barat, beberapa tahun lalu. Hadir dalam Tabligh Akbar tersebut, Ustadz Abubakar Ba’asyir, tokoh yang gigih memperjuangkan penegakan syariat Islam.
Kang Djael, begitu kawan karibnya biasa menyapa, dikenal sebagai singa podium dan orator ulung. Ceramahnya berapi-api, tegas, dan berani.
Ia tak takut jika kebenaran yang disuarakannya dari mimbar itu harus berujung penjara. Termasuk saat berceramah di Bekasi itu. Ia mengeritik tegas sikap aparat keamanan dalam menangani umat Islam yang dituduh teroris.
“Silakan polisi tangkap saya,” ujarnya saat itu. Tak bbeerapa lama, listrik di dalam dan area sekitar masjid padam. Ceramah pun terhenti, dan Abdul Qadir Djaelani dibawa keluar oleh panitia.
Penulis produktif
Begitulah Abdul Qadir Djaelani. Ia termasuk sosok senior di kalangan aktivis pergerakan yang cukup disegani. Kawan-kawannya menyebut “urat takut” pria kelahiran Jakarta 20 Oktober 1938 ini sudah putus.
Tak ada kamus takut dalam perjuangannya. Apalagi menyangkut akidah umat Islam. Tak heran jika sejak zaman Orde Lama sampai Orde Baru, ia sering keluar masuk bui.
Tahun 196-1961, ia dipenjara rezim Nasakom karena menyebarkan pamflet tuntutan pembubaran PKI. Tahun 1963-1965 ia kembali masuk penjara karena tuduhan anti-komunis dan ingin menggagalkan Pesta Olahraga GANEFO (Game of the New Emerging Forces) yang digagas Presiden Sukarno di Jakarta.
Tahun 1979-1981, ia ditangkap kembali oleh rezim Orba karena menggalang demonstrasi masuknya Aliran Kepercayaan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan menolak Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Terakhir, karena sikapnya menolak Asas Tunggal Pancasila, pada tahun 1984-1993 ia kembali masuk penjara.
Penjara tak bisa mengubah pendiriannya. Bahkan siksaan dan tekanan selama dalam bui, tak pernah membuatnya bersurut nyali.“Saya pernah disiksa dengan cara disetrum bagian vital saya dan dipukuli,” ujarnya menceritakan pengalamannya di depan para santri dan guru Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil, dalam ceramah perpisahan wisuda santri, pertengahan tahun 1990-an.
Sebagai aktivis pergerakan, Abdul Qadir Djaelani pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta (1960-1961), Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam (GPI) selama dua periode (1976-1984), Sekjend Serikat Tani Islam Indonesia (1967-1972), dan lain-lain. Di bidang pendidikan, ia pernah menjadi dosen luar biasa pada bidang studi agama Islam di Institut Pertanian Bogor (IPB), Perguruan Tinggi Da’wah Islamiyah (PTDI) Jakarta, dan lain-lain
Kiai Abdul Qadir Djaelani atau Ustad Abdul Qadir tak hanya garang di mimbar, tetapi juga seorang pemikir yang sudah melahirkan puluhan karya buku. Ia tak hanya seorang pengeritik ulung, tetapi juga menawarkan konsep-konsep dalam berbangsa dan bernegara dalam buku-buku yang ditulisnya.
Ia menulis banyak buku dengan beragam tema, termasuk filsafat Islam. Di antara karya bukunya yang sangat terkenal adalah; Asas dan Tujuan Hidup Manusia Menurut Islam, Perjuangan Ideologi Islam di Indonesia, Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, dan lain-lain.
Kini mujahid dakwah itu telah berpulang. Rabu, 23 Februari 2020, pukul 10.00 WIB, Ustadz Abdul Qadir Djaelani mengehembuskan napas terakhirnya di Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Sebagai seorang mujahid dakwah, ia telah mewariskan keteladanan dalam keberanian membela Islam. Semoga Allah SWT merahmatinya, menerima amal ibadahnya, dan mengampuni segala dosa-doanya. Amiin ya Rabbal ‘alamin*/Artawijaya