Hidayatullah.com- Tujuh puluh satu tahun yang lalu Mosi Integral Mohammad Natsir berhasil mempersatukan Indonesia yang telah tercerai-berai menjadi beberapa Negara Bagian akibat rekayasa pihak Belanda yang ingin kembali menjajah Tanah Air.
Belanda dengan bantuan para komprador-nya sejak lama memainkan politik devide et impera (pecah-belah dan taklukkan) di kepulauan Nusantara. Benih-benih “separatisme” yang bisa menjadi “bom waktu” bagi Indonesia, sengaja ditaburkan oleh pihak Belanda dengan cara yang halus dalam masa revolusi.
Hal ini dikatakan Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammad Fuad Nasar mengenang 71 Tahun Mosi Integral Natsir yang terjadi pada 3 April 1950.
“Sejarah mencatat pada 23 Agustus – 2 Nopember 1949 di Den Haag berlangsung perundingan antara delegasi Republik Indonesia, delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) beranggotakan para pemimpin negara federal dan delegasi Kerajaan Belanda yang dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB),” ujar Fuad dalam keterangan tertulisnya diterima hidayatullah.com, Sabtu (03/04/2021).
Sesuai hasil KMB, jelasnya, kedaulatan diserahkan oleh Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Nasional Federal Sementara daripada Negara Indonesia Serikat (RIS). Pihak Indonesia menerima hasil perundingan yang maksimal bisa dicapai dalam perjuangan diplomasi demi kemenangan jangka panjang yang diharapkan. Negara Republik Indonesia dengan ibukota sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta hanya salah satu dari Negara Bagian RIS. Adapun wilayah Republik Indonesia sendiri berada di sebagian pulau Jawa, Sumatera dan Madura.
Fuad menambahkan, Mosi Integral yang dicetuskan oleh Pemimpin Masyumi Mohammad Natsir di parlemen mendapat dukungan luas dan ditandatangani oleh seluruh fraksi di DPR-RIS pada waktu itu. Situasi dan gejolak di berbagai daerah mulai menunjukkan adanya keinginan untuk kembali bersatu, namun bagaimana caranya sampai saat itu belum ditemukan.
“Mosi Integral benar-benar sebuah terobosan brilian yang menjadi pembuka jalan bagi pulihnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui jalan demokratis dan cara yang terhormat,” imbuhnya.
Mohammad Natsir melalui Mosi Integral mengajak semua pemimpin negara-negara bagian, waktu itu ada 15 (lima belas) “negara boneka bikinan Van Mook” yakni: Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, dan Negara Jawa Tengah, supaya membubarkan diri secara damai dan bersama-sama pula mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui prosedur parlementer.
Pada 17 Agustus 1950 yang diawali oleh Mosi Integral Natsir di Parlemen (DPR-RIS) tanggal 3 April 1950 sebagai prolognya, Republik Indonesia untuk kedua kalinya diproklamirkan menjadi Negara Kesatuan oleh Presiden Soekarno dalam sebuah pidato kenegaraan di Istana Merdeka Jakarta.
“Itulah “Hari Proklamasi Kemerdekaan RI” yang kedua setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Semenjak itu resmi pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS). Dua hari sebelumnya, tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Soekarno membacakan Piagam Pernyataan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia di muka rapat gabungan DPR-RIS dan Senat di Jakarta. Republik Indonesia Serikat hanya berumur tujuh bulan,” ujarnya.
Seminggu kemudian, Presiden Soekarno menunjuk Mohammad Natsir menjadi formatur untuk membentuk Kabinet Republik Indonesia dibawah pimpinan Perdana Menteri Mohammad Natsir. “Mosi Integral Mohammad Natsir, sebuah fakta sejarah yang penting dan tak boleh dilupakan,” kata Fuad.
Karena Mosi Integral itulah, dengan kehendak Allah, yang menyelamatkan kesinambungan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang diproklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia pada Jumat 17 Agustus 1945, bulan Ramadhan, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta dipersatukan kembali melalui Mosi Integral Mohammad Natsir.
“Sejarah bukan sekadar romantisme masa lalu. Sejarah adalah ingatan kolektif suatu bangsa dan kekayaan moral yang menjadi modal bersama dalam menghadapi kompleksitas kondisi masa kini dan tantangan masa depan,” pungkas Fuad mengingatkan.*