Hidayatullah.com– Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) DKI Jakarta Ustadz Fahmi Salim (UFS) turut angkat suara menyikapi polemik rencana pemerintah menggunakan nama tokoh sekuler Turki untuk nama jalan di Jakarta.
Daripada tokoh sekuler Mustafa Kemal Ataturk itu, yang pantas digunakan namanya, kata UFS, adalah sosok tokoh Islam asal Turki yaitu Muhammad Alfatih atau Sultan Mehmed Fatih (Sultan Mehmed II).
“Ataturk memang Bapak Modern bangsa Turki tetapi (Presiden Turki) Erdogan juga sejak beliau berkuasa itu mempromosikan tokoh-tokoh Kesultanan Islam itu atau Ottoman Turki itu sebagai Bapak Turki Klasik. Seperti (mengadakan) perayaan hari ulang tahun Istanbul itu setiap tahun, merayakan kemenangan Sultan Mehmed Fatih (yang menaklukkan Konstantinopel). Jadi itu secara besar-besaran dirayakan,” ujar UFS kepada hidayatullah.com, Ahad (17/10/2021).
Selain itu, tambah Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2015-2020 ini, Erdogan juga mensponsori film-film klasik Turki untuk membangkitkan kesadaran sejarah rakyat Turki, bahwa mereka memiliki akar keislaman yang cukup lama dan menjadi penguasa dunia.
“Jadi saya pikir pantaslah kalau misalnya kita memberikan nama jalan (di Jakarta) itu nama Jalan Sultan Mehmed Fatih ya, Jalan Mehmed Fatih atau Jalan Sultan Fatih ya seperti di Istanbul ada district Fatih,” ungkapnya menjelaskan.
Sebagai imbalannya, tambah tokoh muda Muhammadiyah ini, pemerintah Indonesia bisa meminta nama jalan di Istanbul atau Ankara dengan nama Raden Fatah.
“Raden Fatah kan sosok Pahlawan Nasional bagi Indonesia ya, itu beliau termasuk tokoh yang menyatukan Nusantara pewaris Majapahit ya kan dengan kesultanan Islam,” ujarnya.
“Jadi saya kira logis-logis saja dan sah-sah saja kedua nama tokoh itu, baik Raden Fatah maupun Sultan Mehmed Fatih ini diberikan privilege, diberikan kemuliaan sebagai nama jalan di dua negara untuk mengikat hubungan persaudaraan di antara dua negara Indonesia dan Turki,” ujarnya.
Sebab, UFS menegaskan, kalau menggunakan nama Ataturk agak sensitif di Indonesia. “Saya kira lebih baik diganti ya karena bisa mengundang kegaduhan,” imbuhnya.
Lain cerita menurutnya kalau misalnya yang meminta nama jalan Ataturk itu adalah pemerintah Turki.
“Kalau pemerintah Turki sendiri yang minta satu nama itu ya mau gimana lagi. Ya kita menghargai dan menghormati permintaan pemerintah Turki di bawah Erdogan. Tapi kalau pemerintah Erdogan tidak menentukan satu nama, ya saya kira wajar-wajar saja kalau misalnya umat Islam misalnya meminta ada nama lain selain nama Kemal Ataturk itu yang citranya sangat negatif di tengah-tengah masyarakat Muslim yang mayoritas di Indonesia ini,” ujarnya.
Adapun kalau Turki mau memberi nama Jalan Soekarno di Ankara atau Istanbul, ia tidak mempermasalahkan.
“Ya silakan saja, sah-sah saja. Bagi kita umat Islam kita tetap menghormati Bapak Proklamator RI itu ya, saya kira gak ada masalah. Tapi kalau memang pertimbangannya tadi seperti yang pertama ya itu bisa dipertimbangkan nama lain seperti nama Jalan Raden Fatah di Ankara atau Istanbul, kemudian Jalan Sultan Mehmed Fatih di Jakarta ini,” ujarnya menegaskan usulannya.
Baca: Tokoh Sekuler Turki Kemal Ataturk akan Jadi Nama Jalan di Jakarta, Tuai Penolakan
Lebih jauh, menurut UFS, harus diakui selera rakyat Turki adalah Mustafa Kemal Ataturk.
“Memang masih sekulerisme itu merajalela (di Turki), masih kuat pengaruhnya. Nah Erdogan itu kan kenapa bisa memerintah, bisa terpilih partainya, ya karena pendekatan-pendekatannya juga sekuler, walaupun orang-orangnya Islami gitu. Yang penting adalah pembangunan ekonomi, harga bisa murah, kemudian pembangunan bisa dirasakan merata. Itu kan pendekatan-pendekatannya Erdogan selama ini yang itu disukai oleh rakyat Turki yang sekuler gitu,” urainya.
Sehingga, pungkas Direktur Al-Fahmi Instituse ini, kalau memang nama Kemal Ataturk jadi dipakai sebagai nama salah satu jalan di Jakarta, “Nggak apa-apa lah biarin aja, mau kasih nama Soekarno kek, Ataturk kek, ya nanti suatu saat nanti kan bisa diganti.”
Diketahui, Mehmed II juga dikenal secara luas sebagai Muhammad al-Fatih atau Mehmed Sang Penakluk, adalah penguasa Utsmani ketujuh yang berkuasa pada 1444 – 1446 dan 1451 – 1481, ia terkenal karena berhasil menaklukkan Konstantinopel pada 29 Mei 1453.*
Baca juga: Waketum MUI Sebut Rencana Pemerintah Jadikan Kemal Attaturk Nama Jalan Sakiti Umat Islam