Hidayatullah.com– Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) belum lama ini mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Gerakan Indonesia Beradab (GiB) yang terhimpun lebih dari 200 organisasi masyarakat pengusung nilai-nilai Pancasila mendesak agar Permendikbudristek itu dicabut.
“Agar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 dicabut karena DPR sedang memproses Undang-Undang terkait isu serupa,” kata Bagus Riyono selaku ketua Presidium Gerakan Indonesia Beradab, kepada Hidayatullah.com, Rabu (03/11/2021).
Ada beberapa alasan kenapa Gerakan ini mendesak Permendikbudristek itu dicabut saja. Pertama, istilah Kekerasan Seksual itu sendiri sudah ditolak di DPR, sedangkan istilah yang digunakan dalam Rancangan Undang-Undang adalah Tindak Pidana Seksual. Oleh karena itu, peraturan menteri ini tidak sesuai dengan wacana yang sedang dibahas di DPR.
Bagus menjelaskan definisi Kekerasan Seksual sebagaimana yang tercantum pada BAB I Pasal 1 Ayat 1 tentang Ketentuan Umum, yang menyatakan bahwa Kekerasan Seksual terjadi “karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”, adalah sebuah definisi yang sempit, insinuatif, bias budaya, dan tidak sesuai dengan Pancasila.
“Sempit karena mengabaikan sebab-sebab lain dari Tindak Pidana Seksual. Insinuatif, karena sarat dengan nuansa dan kepentingan ideologi feminisme. Bias budaya, karena dalam budaya Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pria wanita adalah pasangan yang serasi dan selaras, saling bantu-membantu dalam kehidupan dalam mewujudkan masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa serta Adil dan Beradab,”ujarnya.
Kedua, kata Bagus melihat prinsip-prinsip pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual yang tercantum pada BAB I Pasal 3, yang masih melibatkan prinsip keadilan dan kesetaraan gender (Poin b), adalah istilah yang asing bagi bangsa Indonesia yang dalam sejarahnya selalu menghormati keseimbangan peran pria dan wanita dan tidak ada obsesi untuk apa yang disebut “kesetaraan gender”.
“Indonesia memiliki pahlawan-pahlawan wanita sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan diterimanya presiden wanita. Oleh karena itu, isu “kesetaraan gender” adalah cerminan dari agenda asing,”cetusnya.
Selain itu, Bagus mengatakan rincian Kekerasan Seksual yang dijabarkan pada BAB I Pasal 5 Ayat 2 Poin b, f, g, h, j, l, m, yang mensyaratkan “tanpa persetujuan korban” sebagai indikator tindak pidana seksual, adalah pernyataan yang berkonotasi bahwa syarat utama dalam interaksi seksual hanyalah adanya persetujuan, yang berarti peraturan ini mengadvokasi kebebasan seksual pada kalangan civitas academica (sexual consent).
Adapun diakhir Gerakan Indonesia Beradab menyatakan dan mengusulkan:
Pertama, Menjadikan Pancasila, lengkap dengan seluruh sila-silanya, sebagai dasar dalam penyusunan peraturan tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Seksual ini;
Kedua, Menjadikan Pancasila sebagai acuan moralitas, norma dan hikmah-kebijaksanaan dalam menetapkan prinsip, standar perilaku dan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi pada kementerian yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan kebudayaan;
Ketiga, Tidak menjadikan hukum dan peraturan sebagai wahana penyusupan bagi paradigma asing yang akan menjadi unsur perusak bagi nilai-nilai keTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan, dan keadilan sosial;
Keempat, Agar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 dicabut karena DPR sedang memproses Undang-Undang terkait isu serupa;
Kelima, Tidak menjadikan institusi pendidikan dan kebudayaan, khususnya Perguruan Tinggi, sebagai panggung dan corong bagi ideologi dari paradigma, prinsip, nilai, perilaku dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa ini, yaitu Pancasila.*