Hidayatullah.com — Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) Yenti Garnasih mengungkap tak habis pikir akan beberapa pasal di Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Yenti menilai Permendikbud tersebut seolah ingin membawa kampus menjadi kebaratan-baratan.
Pasal yang Yenti soroti adalah klausul ‘tanpa persetujuan korban’ di pasal 5 Permendikbud itu. Di antaranya:
1. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
2. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
3. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
4. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
“Kalau dengan persetujuan oke kan? Berarti kalau dengan persetujuan oke-oke saja ya? mau begitukah kita?” kata Yenti kepada detikcom, Senin (15/11/2021).
Yenti juga menyatakan masyarakat tidak salah dalam menafsirkan frasa dalam Pasal 5 di atas menjadi klausul seks bebas. Jadi wajar mendapat penolakan oleh banyak orang. “Kalau pendapat saya, ya iya berarti boleh menurut Permen tersebut (seks bebas-red). Lha bagaimana dengan norma agama, norma kesusilaan, etika? Living law?” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor itu.
Yenti lalu merujuk aturan agama yang masih dipegang teguh di masyarakat. Menurutnya, Permendikbud itu harus memahami nilai-nilai tersebut.
“Kita ini tidak bebas nilai. Ada norma agama, ada kepatutan. Apa kita mau seperti di Barat?” kata Yenti tegas.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sebagai solusi, Yenti meminta ada revisi Pasal 5 Permendikbud tersebut.
“Saya juga bingung maksudnya apa ya menyetujui perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam Permen tersebut bila dengan persetujuan pihak. Kalau ada dosen yang melakukan kekerasan seksual kepada mahasiswa, ya laporkan saja ke penegak hukum. Tapi apa iya kita membiarkan kalau dilakukan dengan persetujuan? Apalagi di kampus? Apalagi dalam konteks dosen ke mahasiswa dan kampus. Dengan persetujuan pun ya tidak bolehlah. Kan tentang perbuatan asusila di kampus, kan tidak pantas, tidak sopan, dilarang agama, nilai-nilai yang hidup di masyarakat,” pungkas Yenti.*