Hidayatullah.com — Sejak September 2021, Revisi Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) resmi masuk program legislasi nasional prioritas 2021. UU ini kerapkali digunakan untuk mengkriminalisasi warga yang menyampaikan kritik secara damai.
Amnesty Internasional Indonesia, mencatat sepanjang 2020 setidaknya terdapat 119 kasus represi kemerdekaan berpendapat akibat UU ITE. Dengan itu, seharusnya tak ada lagi korban kriminalisasi akibat UU ITE ini.
Nasir Djamil anggota Komisi III DPR RI menilai sejumlah pasal dalam UU ITE masih mengandung kelemahan dan telah menjadi momok bagi kekebasan berekspresi warga, terutama di dunia maya.
“Saya belum tahu pasti apakah revisi UU ITE akan dilakukan oleh komisi atau lintas komisi. Harapan saya, bisa dibentuk Pansus Revisi UU ITE yang sudah memakan banyak korban di dunia maya, termasuk yang kritik kebijakan pemerintah,” kata Nasir saat menjadi pembicara di audiensi virtual Amnesty Internasional dengan tema Revisi UU ITE Harus Lindungi Kebebasan Berekspresi, Rabu (24/11/2021).
Menurut politisi PKS ini perubahan atas UU itu diharapkan menjadi momentum untuk menjaga asa publik terkait bagaimana kita menyikapi demokrasi di Indonesia. “Selama satu dasawarsa, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran, terutama kebebasan sipil,” ujar Nasir dikutip dari laman IG miliknya.
Nasir mengatakan kebebasan jika tidak diatur hukum, bisa tidak hanya merugikan individu, namun juga orang lain. Manusia sejak lahir punya hak atas kebebasan, tapi tetap harus bertanggung jawab. Pasca reformasi, UU tentang kebebasan berpendapat merupakan roh reformasi.
“Saya berharap kepada rekan-rekan DPR RI dan Pemerintah mampu mengedepan dan memahami prinsip-prinsip demokrasi. Kebebasan adalah hak asasi yang telah ditenteng sejak seseorang itu lahir ke dunia. Tapi kebebasan akan menjadi nestapa manakala kebenaran dan kesalahan diserahkan kepada subjektif orang tersebut,”ungkap Legilator dapil Aceh ini.
“Karena itu kita butuh hukum dan negara. Hukum dan negara diharapkan mampu menjembatani aspirasi warga dan membuat aturan yang tidak mengekang dan mengangkangi akal sehat,” imbuhnya.
Dalam forum itu Nasir juga menginginkan ada semangat pemidanaan non-penjara untuk kasus tertentu, hal ini juga sering disuarakan para aktivis. “Pemidanaan penjara sudah usang, dan tidak efektif. Restorative justice harus diupayakan. Literasi penegakan hukum juga perlu.” pungkasnya.
Sementara itu, dalam forum yang sama anggota Komisi I DPR, Christina Aryani turut bersuara menurutnya revisi untuk UU ITE lebih tepat melalui Pansus lintas komisi di DPR sehingga pembahasan bisa lebih menyeluruh. Tentunya revisi UU nanti juga harus lebih tegas dan jelas tanpa ada multitafsir.
“Kami mencatat kebebasan berekspresi terbelenggu dengan adanya UU ITE. Patut disadari SKB tentang UU ITE yang kemarin keluar memang bukan solusi ideal, tapi bisa jadi jalan sementara menuju revisi UU ITE yang butuh waktu,” ungkapnya.*