Hidayatullah.com—Imarah Islam sebutan untuk pemerintahan Aghanistan yang baru telah menandai 100 hari berkuasa pada hari Selasa, menyusul upaya diplomatik yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi untuk mencapai pengakuan internasional. Diplomasi dipimpin langsung oleh Mawlawi Hebatullah Akhundzada, pemimpin tertinggi Imarah Islam.
Pejabat Imarah Islam terbang ke berbagai negara untuk mengajak terlibat dan membangun hubungan Afganistan. Sebagai imbalannya, perwakilan dari setidaknya enam negara mengunjungi Afghanistan dan mengadakan pembicaraan dengan para pejabat, kutip media Afghanistan, ToloNews.
Letjen Faiz Hameed (Kepala Inter Services Intelligence/ISI – Pakistan), Shah Mahmood Qureshi, (Menlu Pakistan), Abdulaziz Kamilov (Menlu Uzbekistan), Mutlaq bin Majed Al-Qahtani (utusan khusus Kemlu Qatar), Hasan Qazemi Qomi (Utusan Khusus Iran untuk Afghanistan), Utusan Khusus Jerman untuk Afghanistan dan Pakistan Jasper Wieck, dan Utusan Khusus Belanda untuk Afghanistan Emiel de Bont adalah pejabat asing pertama yang mengunjungi Afghanistan selama 100 hari pertama Imarah Islam berkuasa.
“Kebijakan diplomatik dan luar negeri Imarah Islam terbatas pada beberapa negara tetangga dan regional selama seratus hari. Negara-negara sedang menunggu untuk melihat apakah Taliban akan memenuhi apa pun yang mereka janjikan sebelumnya atau tidak,” kata Fakhruddin Qarizada yang merupakan mantan penasihat Menteri Luar Negeri Afghanistan.
Selama 100 hari pertama, enam pertemuan regional dan internasional yang signifikan diadakan di Afghanistan. Iran, Pakistan, India, Rusia, China menjadi tuan rumah pertemuan di Afghanistan, dan para pemimpin G20 dan serta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) membahas masalah Afghanistan dalam sesi terpisah.
Di luar dugaan, pengakuan pemerintah Imarah Islam tidak dibahas dalam pertemuan; dan hasil pertemuan sebagian besar sama. Pertemuan-pertemuan itu terutama berfokus —dan menekankan— topik-topik seperti pemerintahan inklusif, hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, hak pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan dan anak perempuan Afghanistan, dan tanah Afghanistan tidak digunakan sebagai platform untuk pemberontakan.
Sebagai reaksi atas pernyataan dari banyak pertemuan, pejabat Imarah Islam bersikeras bahwa mereka telah memenuhi tuntutan. “Negara dan kawasan dunia memiliki satu pendapat tentang Taliban yang harus mereka ubah, dan mereka (Imarah Islam) harus bertindak sesuai dengan standar internasional; namun, saya pikir Taliban layak untuk diakui,” kata Abdul Moqadam Amin, seorang analis politik.
Setelah perubahan politik di negara itu, hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan dan anak perempuan Afghanistan, telah menjadi isu yang hangat diperdebatkan baik di Afghanistan maupun internasional. Masyarakat internasional telah menyatakan bahwa keterlibatan perempuan Afghanistan dalam pemerintahan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan merupakan syarat untuk pengakuan pemerintahan baru.
“Berlawanan dengan komitmen Taliban, dalam tiga minggu terakhir banyak perempuan dilarang pergi bekerja dan terpinggirkan. Di banyak daerah mereka bahkan tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa Muharram,” kata Michel Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM dikutip ToloNews.
Pada saat yang sama, beberapa negara regional dan dunia termasuk Pakistan, China, Rusia dan Inggris menekankan bahwa mereka akan mengambil langkah-langkah menuju keterlibatan dengan pemerintah baru di Afghanistan untuk membantu mengatasi krisis di negara itu. “Mereka mungkin tidak berbicara untuk semua orang Afghanistan, jauh dari itu, tetapi mereka adalah semacam otoritas,” ujar Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Saat ini, dilaporkan bahwa sebelas negara, termasuk Iran, Pakistan, China, Rusia, Turki, Qatar, Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakhstan, Kirgistan, Italia dan Uni Emirat Arab, telah membuka kedutaan di Afghanistan.*