Hidayatullah.com– Anggota Divisi Kajian Ekonomi Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Mukhlis Rahmanto menyebut, fatwa terkait kripto masih dapat berubah. Hal itu mengingat bahwa cryptocurrency besar kemungkinan ke depan juga terus mengalami perubahan seiring perkembangan teknologi.
“Hemat pandangan pribadi saya, ke depan bisa saja terjadi perubahan fatwa tentang cryptocurrency, baik sebagai instrumen investasi maupun alat tukar, jika misalkan beberapa persyaratan pentingnya bisa terpenuhi,” ungkap Mukhlis pada Rabu (19/01), dilansir laman resmi Muhammadiyah.
Sebelumnya, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah sendiri telah mengeluarkan fatwa keharaman kripto baik sebagai kegiatan investasi maupun alat tukar. Alasannya karena ada kecenderungan mengandung unsur ketidakpastian (gharar), perjudian (maisir), belum disahkan negara sebagai mata uang resmi, dan masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai mata uang digital ini sehingga sangat berisiko.
Majelis Tarjih Muhammadiyah sendiri telah beberapa kali mengubah fatwa keagamaan. Misalnya, dilansir laman Muhammadiyah.or.id, Majelis Tarjih Muhammadiyah pernah mengeluarkan fatwa keharaman melukis dan menggambar, namun kemudian berubah menjadi boleh dengan syarat tidak jadi sesembahan.
Mukhlis menerangkan, Majelis Tarjih memandang polemik mata uang kripto ini dipandang dari dua sisi: sebagai instrumen investasi dan alat tukar. Bagaimana pun, kripto sebagai instrumen investasi hukumnya haram, sebab tidak ada underlying asset (aset dasar) yang mengakibatkan pergerakannya liar.
Muklis mengungkap tak jarang banyak investor yang tiba-tiba menjadi milyader, namun tidak sedikit juga yang tiba-tiba malah menjadi miskin melarat, sehingga sifat gharar dan maisir begitu kentara di aset kripto ini.
Namun, terang Mukhlis, mata uang digital kripto harus terpenuhi beberapa syarat seperti adanya underlying asset dan kepastian hukum dari negara. Bila kedua aspek ini telah terpenuhi dalam investasi kripto, maka dapat meminimalisir unsur gharar dan maisir, sehingga boleh jadi akan berubah pula status hukumnya.
Sebab, ujarnya, sekiranya belum ada kepastian hukum, investor tidak dapat melapor ke polisi dan membawa kasusnya ke pengadilan bila terjadi penipuan.
Sementara itu, sebagai alat tukar, menurut Mukhlis, mata uang digital kripto harus memenuhi setidaknya dua syarat: diterima oleh masyarakat dan disahkan oleh negara yang dalam hal ini dapat diwakili otoritas resmi seperti bank sentral.
“Sepanjang adat kebiasaan masyarakat belum mengakuinya sebagai alat tukar dan instrument investasi, pun negara belum meresmikan entitasnya, status mata uang kripto akan tetap haram hukumnya. Bila kedua syarat ini terpenuhi, besar kemungkinan fatwa Tarjih juga akan mengalami perubahan,” ungkapnya.
Mukhlis mengimbau agar masyarakat berhati-hati terhadap sesuatu yang belum dikenali secara pasti seperti mata uang kripto ini. Fatwa Tarjih tentang mata uang digital kripto, ujarnya, dapat menjadi pegangan untuk sementara waktu.*