Hidayatullah.com– Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Hidayat Nur Wahid menilai pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) merupakan suatu hal yang sangat krusial. Menyangkut eksistensi dan masa depan seluruh warga bangsa Indonesia, dan bukan hanya terkait dengan sebagian elite politik di Jakarta.
Karena itu sewajarnya bila dalam proses pembuatan dan pengujian keputusannya juga melibatkan sebanyak-banyaknya komponen rakyat Indonesia. Salah satu caranya adalah, sebutnya, melalui referendum (jajak pendapat) rakyat Indonesia. Penggunaan referendum dalam menentukan pemindahan ibu kota negara, adalah wujud nyata membuka peluang partisipasi masyarakat seluas-luasnya.
Sebagaimana ketentuan dasar yang tercantum dalam Pasal 96 UU no 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
“Saya menyayangkan RUU Ibu Kota Negara yang disetujui oleh Pemerintah dan DPR, tetapi dalam proses pembahasannya belum membuka partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam UU. Terbukti banyak kritik dari para pakar dan tokoh senior seperti Prof Emil Salim, Rizal Ramli, Didiek J Rahbini, hingga Faisal Basri. juga dari Walhi, IAI, dan bahkan penolakan dari masyarakat pasca RUU tersebut disetujui,” ujar Hidayat melalui siaran pers di Jakarta, dikutip Kamis (20/01/2022).
Menurut HNW, sapaan akrabnya, baru satu hari RUU tersebut disetujui di DPR, suara penolakan terbuka justru datang dari Kalimantan Timur. Masyarakat di Provinsi IKN baru berada, menyampaikan penolakan terhadap UU IKN dengan membentuk Koalisi Masyarakat Kaltim. Koalisi, ini terdiri dari Walhi Kaltim, LBH Samarinda, dan Jatam Kaltim. Penolakan dilakukan, karena mereka merasa tidak mendapatkan sosialisasi yang cukup maupun akses untuk bisa berpartisipasi sebagaimana hak itu diberikan oleh UU.
“Wajar mereka menyampaikan sikapnya termasuk bila masyarakat akan melakukan referendum, yang tentu saja referendum yang dimaksud di sini adalah referendum secara umum yang pengertiannya disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai wujud partisipasi publik dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan referendum jenis itu bukanlah referendum untuk ubah UUD 1945, karena referendum jenis itu sudah dihapuskan oleh TAP MPR no VIII/1998, dan UU No 6 Tahun 1999,” terangnya.
Baca juga: Kaltim Akan Jadi Ibu Kota Negara, Hidayatullah Dorong Perhatian Khusus Dakwah
Bila merujuk kepada KBBI, makna referendum secara umum adalah “penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya. Bukan hanya diputuskan oleh rapat atau parlemen. Tapi penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat)”.
Usulan referendum ini sudah disampaikan HNW dalam Public Expose RUU IKN yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI, Selasa (18/01/2022). Referendum juga dinilai penting menjawab permintaan izin dari Presiden Jokowi. Diketahui umum, bahwa Presiden Joko Widodo pernah meminta izin kepada Rakyat Indonesia (bukan sekadar wakil Rakyat Indonesia) untuk memindahkan ibu kota. Permintaan izin itu disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan di MPR.
Faktanya, sambung HNW, setelah permohonan izin tersebut hingga disahkannya UU oleh DPR, sekalipun ditolak oleh PKS, belum ada jawaban dari rakyat Indonesia, apakah mengizinkan atau belum mengizinkan. Jawaban terhadap permohonan izin ini perlu dipastikan baik secara etika (menjawab permohonan izin), maupun demokrasi konstitusional dimana UUDNRI 1945 (psl 1 ayat 2) yang dengan jelas menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.
Upaya meminta jawaban atau pandangan dari rakyat Indonesia, kata HNW, dapat membuat keputusan memindahkan atau tidak memindahkan ibu kota negara semakin memenuhi tatakrama dan memiliki legitimasi.
“Ini wajar dilakukan, agar suatu kebijakan sekelas pemindahan ibu kota negara bisa berlaku dengan elegan, karena rakyat telah dihormati haknya, dan secara “legowo” telah menyampaikan pendapatnya. Sehingga apabila ditolak oleh mayoritas rakyat, dan apalagi bila MK mengabulkan judicial review soal IKN ini, maka seharusnya Pemerintah dan DPR secara legowo mengkoreksi dan tidak melanjutkannya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Anggota DPR RI dari Dapil Jakarta II yang meliputi Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Luar Negeri ini mengaku, dirinya juga mendapat banyak aspirasi penolakan terhadap RUU IKN dan pemindahan ibu kota. Hal tersebut disampaikan langsung oleh masyarakat saat HNW melakukan kegiatan reses DPR RI untuk bertemu dengan konstituen di dapilnya.
“Suara-suara itu disampaikan langsung kepada saya, baik dari para tokoh maupun masyarakat biasa. Mereka tidak sepakat dengan RUU IKN dan perpindahan ibu kota ini. Aspirasi penolakan tersebut juga disampaikan oleh sebagian konstituen dari luar negeri. Yang sangat tahu bahwa beberapa negara seperti Australia, Myanmar, dan Malaysia sudah memindahkan ibu kotanya. Tetapi tidak ada yang melakukan perpindahan itu saat ekonomi negara lagi berat dengan hutangnya, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19, seperti yang terjadi dalam program pemindahan ibu kota di Indonesia,” terangnya.
“Hal yang juga menjadi alasan mengapa PKS menolak RUU IKN, walaupun menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang menolak. Itu semua karena PKS mementingkan agar Presiden Jokowi memberlakukan asas prioritas dengan terlebih dahulu merealisasikan janji-janji kampanyenya saat jadi capres, karena pemindahan ibu kota tidak ada dalam UU RPJP maupun dalam janji kampanye Jokowi saat pilpres. Apalagi masih berlanjutnya Covid-19 dan makin bertambahnya hutang negara.
Mestinya prioritas negara juga agar anggaran yang ada dimaksimalkan untuk membantu rakyat mengatasi Covid-19 dan dampak-dampak ekonominya. Bukan untuk memindahkan atau membangun ibu kota negara yang tidak ada dalam janji/program kampanye pilpres, dan bukan prioritas keperluan rakyat,” terusnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini mengingatkan agar pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR sungguh-sungguh mengambil pelajaran dari permasalahan pembahasan RUU Cipta Kerja sebelumnya. Tapi sayangnya, RUU IKN ini jadi mirip seperti RUU Cipta Kerja yang pembahasannya dilakukan dengan minim partisipasi publik, dan berlaku dengan tergesa-gesa.
“MK menyatakan RUU Cipta Kerja itu sebagai inkonstitutional bersyarat, karena tidak memaksimalkan pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembahasannya, sebagaimana aturannya sangat jelas disebutkan dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan kali ini terulang kembali dalam pembahasan RUU IKN.
Jadi, wajar saja bila ada warga negara yang merasa hak konstitusionalnya untuk didengar partisipasinya belum terpenuhi, kemudian menggunakan hak konstitusionalnya untuk mengajukan peninjauan (judicial review) ke MK. Saya menghormati hak konstitusional warga terkait partisipasi, atau gelar jajak pendapat dengan referendum, maupun mengajukan peninjauan (judicial review) ke MK. Dan berharap agar seluruh mekanisme yang dibenarkan oleh UU maupun UUD untuk dapat dipergunakan, sehingga terkait dengan ibu kota negara ini (pindah maupun tidaknya) agar betul-betul mendapatkan kelegowoan dan legitimasi yang kuat dari rakyat Indonesia,” pungkasnya.*