Hidayatullah.com—Direktur Al-Fahmu Institute Fahmi Salim, MA mempertanyakan petetapan resmi pemerintah terkait penetapan 198 pondok pesantren terafiliasi dengan sejumlah organisasi teroris, baik dalam dan luar negeri termasuk ISIS. Sebelumnya, Kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar mengungkapkan hal ini dalam rapat bersama Komisi III DPR, Selasa (25/01/2022).
“Pertama, yang perlu kita pertanyakan kepada beliau dan menjadi perhatian DPR, pemerintah, ormas-ormas Islam dan alim ulama adalah organisasi yang disebut teroris itu mana, yang menjadi ketetapan Republik Indonesia,”kata Fahmi kepada Hidayatullah.com, Kamis 27 Januari 2022. “Ada ketetapannya tidak, atau hanya baru dugaan, atau belum menjadi ketetapan. Jadi kita pertanyakan dulu surat penetapannya mana?,” kata Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini.
Fahmi mencontohkan seperti PBB, Amerika Serikat, Arab Saudi, atau Mesir yang mengeluarkan rilis jaringan teroris yang disebut surat ketetapan Presiden terkait organisasi teroris menurut mereka. “Nah Indonesia ini mana?,”tanya Fahmi.
Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini menilai kalau yang dimaksud BNPT itu ‘teroris’ adalah mereka yang mengajarkan Islam secara baik, membahas sejarah khazanah Islam dan dimasukkan jaringan ‘teroris’ maka ini bisa kelewat batas.
“Artinya sudah melampaui batas ketika suatu pemikiran wacana khazanah dalam sistem pemerintah Islam di masa klasik itu diajarkan lalu kemudian disebut sebagai terorisme, saya kira ini tidak relevan,”ungkapnya.
Karena itu menurut Fahmi, penetapan dari BNPT terkait institusi terafiliasi dengan terorisme harus sangat jelas, dengan menggunakan ukuran jelas, sebab ia khawatir hal ini tak cukup kuat untuk menghukumi pesantren-pesantren tersebut dengan tuduhan seperti itu.
“Setahu saya, yang namanya terorisme berkaitan dengan kekerasan dan hasutan untuk pemberontakan, itu teroris. Kalau pemikiran, apalagi jika berkaitan dengan sejarah, seperti khilafah yang memang bagian sejarah dan ideologi politik Islam, apa bisa kita menghukumi wacana pemikiran khazanah Islam sebagai bibit terorisme,?” tutur Fahmi.
Ia juga menyoroti penggunaan istilah “terafiliasi” yang digunakan BNPT. “Istilah afiliasi ini sangat lentur maknanya. Apalagi dikaitkan dengan ISIS. Apa iya masjid-masjid dan pesantren ini terkait langsung dengan jaringan ISIS? Saya meragukannya,” jelas Fahmi.
Ia mencontohkan, jika satu orang di sebuah lembaga terindikasi, bukan berarti semua lembaganya salah. Sebab bagaimanapun, nama-nama lembaga yang disebut berbadan hukum dan ada izin.
“Jadi ini bisa persoalan labeling, biasanya menuduh satu kelompok, jaringan itu adalah terafiliasi ISIS, itu dokumen yang dipakai bukti hanya pengakuan-pengakuan personal, atau dokumen resmi tertulis. Sebab Masjid apalagi pesantren itukan institusi organisasi resmi, berbadan hukum, ada izin pendirian bangunan, ada proses yang udah dilalui, jadi ini perlu dicermati, diklarifikasi lagi soal kata-kata pesantren terafiliasi ISIS dan sebagainya,”pungkasnya.*