Hidayatullah.com—Direktur Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono melihat bahwa jumlah perokok secara nasional meningkat 2,1 jutra jiwa selama pandemi. Menurut Wibisono, meski krisis ekonomi tidak mampu membuat perokok berhenti mengkonsumsi produk olahan tembakau tersebut.
“Antara 2019 -2021, jumlah perokok bertambah hingga 2,1 juta jiwa. Dari 57,2 juta jiwa pada 2019 menjadi 59,3 juta jiwa dengan total konsumsi rokok secara nasional mencapai 248,7 Miliar batang pada tahun 2021,” kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), Selasa (31/05/2022).
Menurut Yusuf lebih dari 80 persen perokok berada di Jawa dan Sumatera. Sementara itu konsumsi rokok tertinggi didominasi Jawa, yaitu 130,5 miliar batang rokok per tahun dengan 34,9 juta perokok, diikuti Sumatera 64,7 miliar batang dengan 12,8 juta perokok.
“Yang mengkhawatirkan, lebih dari 92 persen perokok terkategori perokok berat, yaitu merokok setiap hari dan Konsumsi rata-rata rokok per orang mencapai 11,5 batang per hari,” papar Yusuf.
Yusuf melihat, terdapat pola spasial antara perilaku merokok dan kemiskinan. Wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbesar juga adalah wilayah dengan jumlah perokok tertinggi.
“Kantong perokok nasional pada 2021 tercatat adalah wilayah padat penduduk Jawa, antara lain Kab. Bogor, Kab. Bandung, Kab. Tangerang, Kab. Bekasi, Kab. Garut dan Kab. Cianjur. Secara menarik, daerah-daerah ini tercatat juga merupakan kantong kemiskinan nasional,” ujar Yusuf.
Rokok telah menjadi salah satu rantai terpenting kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di Indonesia kontemporer. Terdapat bukti yang semakin berlimpah bahwa produk adiktif ini berperan signifikan dalam menurunkan tingkat kesehatan, produktivitas dan penghasilan sebagian besar penduduk.
“Pengeluaran rumah tangga untuk rokok sangat signifikan. Sepanjang 2021, 1,4 juta perokok Kab. Bogor menghabiskan Rp 5,9 triliun untuk membeli rokok, diikuti 885 ribu perokok Kab. Tangerang (Rp 4,7 triliun) dan 1 juta perokok Kab. Bandung (Rp 4,0 triliun),” ungkap Yusuf.
Yusuf menambahkan, bahwa risiko keterpaparan asap rokok bagi masyarakat yang tinggal di dalam rumah perokok secara umum sangat tinggi. Resiko tertinggi dialami oleh anggota keluarga perokok yang tinggal di rumah perokok yang sempit.
Risiko besar dari terpapar asap rokok karena tinggal di rumah perokok yang luasnya kurang dari 7,2 M2 per kapita, dialami oleh 19,6 juta orang. “Masyarakat dengan resiko tinggi terpapar asap rokok karena tinggal di rumah perokok yang sempit ini banyak ditemui di wilayah perkotaan seperti Kota Bandung, Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Kota Surabaya,” ucap Yusuf.
Secara keseluruhan, 59,3 juta perokok Indonesia berpotensi menjadi sumber paparan asap rokok bagi anggota keluarga mereka. IDEAS meperkirakan sebanyak 185,2 juta anggota keluarga perokok berpotensi terpapar asap rokok.
“Dengan kata lain, nyaris seluruh masyarakat Indonesia terancam oleh rokok, baik secara langsung dengan menjadi perokok aktif maupun secara tidak langsung dengan menjadi perokok pasif,” tutur Yusuf.
Rokok menyebabkan berbagai penyakit berbahaya seperti kanker paru, stroke, dan jantung koroner. Penyakit terkait rokok ini muncul puluhan tahun setelah perilaku merokok dimulai, sehingga epidemi terkait tembakau dan kematian yang menyertainya akan terus meningkat di masa depan.
Karenanya, Yusuf menyesalkan, hingga kini Indonesia belum meratifikasi framework convention on tobacco control (FCTC). “Regulasi pengendalian tembakau di Indonesia adalah sangat lemah, dimana harga rokok adalah terjangkau, kebebasan iklan yang permisif, distribusi penjualan yang masif serta rendahnya penegakan kawasan bebas asap rokok, telah menjadikan Indonesia sebagai pasar rokok terbesar ke-tiga di dunia,” tutup Yusuf.*