Hidayatullah.com – Dalam sidang komisi C tentang Fatwa, ada 3 poin yang direkomendasikan untuk dikeluarkan fatwanya yang dibahas pada Musyawarah Nasional (Munas) ke IX Mejelis Ulama Indonesia (MUI) kali ini.
Tiga hal itu menyangkut, Kriteria dan Tata Cara Penentuan Awal Ramadhan, Pendayagunaan Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf (Ziswaf) untuk Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi, serta Pemaksaan dalam Hubungan Suami Istri.
Dalam sidang hasil komisi diputuskan, bahwa MUI mengeluarkan 2 Fatwa terkait Ziswaf untuk Air Bersih dan Pemaksaan Hubungan Suami Istri. Sedangkan soal Penetapan Awal Ramadhan, MUI akan membahas dan mengkaji lebih mendalam dengan melibatkan para pakar Astronomi.
Terkait fatwa tentang Pemaksaan Hubungan Suami Istri, Sekretaris komisi C, Dr. Asrorun Niam Sholeh mengatakan, latar belakang dikeluarkannya fatwa tersebut dikarenakan adanya fenomena terkait aktivitas suami istri yang berhubungan dengan unsur pemaksaan, namun keluar putusan hukum dengan pasal pemerkosaan.
“Hakikatnya hubungan suami istri adalah dibangun atas dasar mawaddah dan rahmah,” ujar Asrorun Niam kepada hidayatullah.com seusai sidang, Rabu (26/08/2015).
Ia menjelaskan bahwa hubungan suami istri merupakan ibadah, di dalamnya terdapat hak dan kewajiban suami istri yang harus dijaga bersama.
Lebih lanjut Asrorun Niam juga menjelaskan bahwa dalam kondisi tertentu hubungan suami istri tidak diperkenankan, yakni ketika haid atau nifas, berpuasa, ihram, dengan cara anal, serta keadaan sakit yang membahayakan jika melakukan hubungan suami istri.
“Nah pemaksaan dari kondisi yang demikian tidak diperkenankan,” ujarnya.
Ia pun menegaskan perilaku hubungan suami istri yang bersifat penyiksaan dan sadistis hukumnya adalah haram.
“Tapi kalaupun sampai melakukan pemaksaan itu tidak termasuk kedalam pemerkosaan, yang bisa dijatuhkan pidana,” tegas Asrorun Niam.
“Kriminalisasi atau mempidanakan hubungan suami istri yang di dalamnya tidak ada unsur penyiksaan, itu menyalahi syariat,” pungkasnya. */Yahya G. Nasrullah