Hidayatullah.com– Proses pembuatan KTP elektronik (e-KTP/KTP el) harus diaudit, kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menanggapi ditemukannya kasus jual beli blanko e-KTP di situs online dan Pasar Pramuka, Jakarta.
Menurutnya, kasus ini, bersama dengan kasus 31 juta pemilih yang belum masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), bisa membuat kredibilitas penyelenggaraan Pemilu 2019 menghadapi tantangan besar.
Kata dia harus ada audit terhadap proses pembuatan e-KTP dan ekspose terbuka dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atas kasus ini. Jika tidak, Kemendagri bisa dianggap gagal mengamankan data kependudukan.
“Apapun isu terkait e-KTP memang bisa menjadi bola panas Pemilu 2019. Sebab, berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum menetapkan bahwa e-KTP menjadi syarat sah bagi pemilih. Syarat ini bagus jika administrasi kependudukan kita terjaga ketat. Namun sebagaimana bisa kita lihat, administrasi Kemendagri cukup buruk menangani hal ini,” ujarnya lewat pernyataannya diterima redaksi, Sabtu (08/12/2018).
Baca: Penjelasan Kemendagri soal Kasus Jual Beli blanko e-KTP
Menurutnya, kasus jual beli blangko e-KTP ini bukan kasus pertama yang menunjukkan buruknya standar kerja Kemendagri terkait proses perekaman data, pendistribusian, dan kontroling pencetakan e-KTP.
Pada Mei lalu, misalnya, ada kasus temuan ribuan e-KTP tercecer di Bogor, Jawa Barat. Sebelumnya, pada 18 Maret 2017, di tempat sampah bekas Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, juga pernah ditemukan kasus serupa.
“Jadi, Kemendagri sepertinya tak punya prosedur ketat dan terkontrol menjaga seluruh lini terkait proses pembuatan e-KTP ini. Padahal ini potensial diselewengkan.
Di bank saja, misalnya, jika ada ATM rusak langsung digunting pihak bank karena rentan disalahgunakan. Ini bagaimana bisa blanko e-KTP keluar tanpa terdeteksi secara internal? Mengingat e-KTP merupakan instrumen penting dalam penggunaan hak pilih, Kemendagri seharusnya tak boleh bekerja amatiran. Apalagi ‘raw material’ data pemilih kan asalnya memang dari Kemendagri,” kritiknya.
Untuk menjaga kredibilitas Pemilu 2019, kata Fadli, perlunya menjaga administrasi data kependudukan dan pemilih ini. Merujuk data kependudukan di Kemendagri, saat ini dari 261 juta penduduk, yang wajib memiliki KTP berjumlah 189 juta.
Akan ada sekitar 7 juta jiwa berusia 17 tahun pada April 2019 nanti, maka Kemendagri pada Desember 2017 lalu menetapkan total DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemiluh Pemilu) untuk Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019 berjumlah 196.545.636.
Baca: Jual Beli blangko e-KTP Dinilai Berbahaya terkait Pemilu
“Dari daftar itu, sejak Agustus lalu KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah beberapa kali menetapkan DPS (Daftar Pemilih Sementara) dan merevisinya. Pada akhir September 2018, sesudah ada masukan, koreksi, dan sejenisnya, data pemilih dalam negeri ditetapkan sebanyak 185.084.629 pemilih. Sementara, jumlah TPS sebanyak 805.068. Adapun untuk pemilih luar negeri, jumlahnya ditetapkan 2.025.344 pemilih. Ini menjadi DPT Hasil Perbaikan Tahap 1,” paparnya.
Sebagai catatan, tambah Fadli, sejak Pleno KPU tanggal 5 September 2018, hingga perbaikan tahap 1 tadi, Partai Gerindra bersama dengan beberapa partai koalisi telah mengajukan penolakan penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap).
“Karena ada sekitar 25 juta data ganda dalam DPS yang kami temukan. Ini harus dibersihkan dulu datanya,” imbuhnya.
“Celakanya,” lanjut Wakil Ketua Umum Gerindra ini, “awal Oktober lalu Kemendagri malah memberikan catatan ada 31 juta orang yang sudah melakukan perekaman e-KTP tapi belum masuk dalam DPT. Padahal, menurut Kemendagri, angka 31 juta yang disebut itu sudah masuk dalam DP4. Ini telah membuat proses penyusunan DPT jadi meraba-raba lagi, sehingga hingga kini kita masih belum punya DPT.”
Untuk melindungi hak pilih, serta menjaga kredibilitas Pemilu 2019, Fadli meminta masyarakat luas ikut pro-aktif melakukan pengecekan data pemilih di lingkungannya. Minimal mengecek keikutsertaannya sendiri sebagai pemilih. Jangan sampai kata dia administrasi kependudukan yang buruk dan tidak terkontrol melahirkan potensi penyelewengan. Masih ada waktu hingga pekan depan melakukan perbaikan DPT.
“Mari kita kawal proses koreksi DPT ini. Jangan sampai demokrasi dan suara rakyat dinodai oleh DPT siluman. Itu sebabnya setiap proses pelanggaran administrasi kependudukan, termasuk jual beli blangko e-KTP, harus diusut dan dihukum berat. Dan Kemendagri harus siap diaudit, agar kasus ini jadi transparan dan tidak terulang kembali,” pungkasnya.*