Hidayatullah.com– Muhammadiyah meminta agar pembicaraan mengenai radikalisme dikurangi. Sebab, selama ini pembicaraan mengenai radikalisme dirasa sudah melebihi dosis dan proporsinya.
“Mengingat masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini sangat banyak, maka kita mengharap kepada pihak pemerintah dan media agar mengurangi dosis pembicaraan tentang radikalisme,” ujar Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas dalam pernyataannya diterima hidayatullah.com di Depok, Jawa Barat, Rabu (06/11/2019).
“Kita meminta supaya dosis pembicaraan tentang radikalisme ini dikurangi dan atau dikempeskan,” tambah Sekjen MUI ini menegaskan.
Hal ini, menurutnya, bukan berarti bahwa masalah radikalisme tidak penting dan tidak berbahaya bagi masa depan bangsa, tapi persoalan yang dihadapi bangsa ini tidak hanya masalah radikalisme. Masih banyak persoalan lain yang harus diperhatikan dan dipikirkan.
Berbagai persoalan lain tersebut, lanjutnya, memiliki dampak dan bencana serta malapetaka yang tidak kalah besar. “Bahkan bisa lebih dahsyat kalau tidak bisa kita respons dan antisipasi secara serius dan sungguh-sungguh, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan pendidikan,” imbuhnya.
Dalam masalah pendidikan, misalnya, kata Anwar. Dunia pendidikan di Indonesia yang semestinya harus bisa mencetak dan melahirkan generasi yang memiliki karakter, seperti dikehendaki Presiden Joko Widodo yaitu menjadi insan-insan Pancasilais, ternyata realitanya masih sangat jauh panggang dari api.
“Dunia pendidikan kita semestinya bisa mencetak anak-anak bangsa yang Pancasilais, yaitu; anak-anak bangsa yang berketuhanan dan taat beragama, yang menjunjung tinggi nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, yang mencintai persatuan dan kesatuan, yang mengedepankan musyawarah dan mufakat, dan yang selalu berorientasi kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” sebutnya.
Tapi ternyata, tambah Anwar, dunia pendidikan telah banyak mencetak anak-anak dan generasi bangsa yang sekuler.
“Karena pendidikan yang kita berikan kepada mereka lewat mata ajar yang ada terputus dan tidak terkait dengan Tuhan dan atau sila pertama. Sehingga, mereka menganggap agama tidak penting dan tidak boleh dibawa-bawa ke dalam kehidupan ekonomi dan politik serta kegiatan publik lainnya,” jelasnya.
Padahal, lebih jauh Anwar menambahkan, kehadiran agama bagi bangsa Indonesia harus menjadi sumber nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Oleh karena itu dunia pendidikan kita harus bisa kita benahi agar ia mampu mencetak anak-anak didik dan generasi bangsa yang merasa perlu kepada agama serta tunduk dan patuh kepada Tuhannya,” ujarnya.*