Hidayatullah.com—Serangan rudal mematikan atas sebuah pusat detensi migran di Libya dilakukan oleh sebuah pesawat tempur asing. Demikian menurut laporan rahasia hasil investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dilihat oleh BBC edisi bahasa Arab.
Tidak ada nama negara yang disebutkan, tetapi sebuah sumber yang mengetahui tentang investigasi itu menyebut Uni Emirat Arab, lapor BBC Rabu (6/11/2019).
Serangan yang terjadi pada bulan Juli itu menewaskan 53 orang migran dan melukai 130 lainnya, dan disebut berpotensi dianggap sebagai kejahatan perang oleh UN High Commissioner for Human Rights Michelle Bachelet.
Kebanyakan yang terbunuh di pusat detensi imigrasi Tajoura itu diyakini berasal dari negara Afrika di kawasan sub-Sahara yang berusaha menyeberang ke Eropa melalui Libya.
Misi Khusus PBB di Libya mengatakan kepada BBC bahwa pihaknya membagikan koordinat lokasi dentensi imigrasi itu –yang terletak di sebelah timur ibu kota Tripoli– kepada kedua belah pihak yang berseteru di Libya agar tidak diserang. Kedua kubu itu adalah Libyan National Army (LNA) yang dipimpin Jenderal Khalifa Akhtar dan Government of National Accord (GNA), pemerintahan Libya dukungan negara-negara Barat.
GNA pada bulan Juli mengatakan bahwa serangan misil itu dilakukan oleh sebuah pesawat tempur milik Uni Emirat Arab. LNA, yang awalnya mengatakan membom sebuah target sah, kemudian membantah terlibat dalam serangan rudal itu.
Sebuah panel yang bekerja untuk Dewan Keamanan PBB selama berbulan-bulan berupaya mencari tahu siapa yang merudal pusat detensi itu.
BBC Arab melihat dokumen laporan hasil penyelidikan yang akan dipresentasikan hari Rabu (6/11/2019) di Dewan Keamanan PBB tersebut.
Laporan itu mengutip bukti-bukti dari sebuah sumber rahasia yang mengatakan “beberapa pesawat tempur Mirage 2000-9 yang tidak diketahui pasti jumlahnya dioperasikan dari dua pangkalan udara di wilayah Libya pada saat serangan itu terjadi.”
Uni Emirat Arab dan Mesir –keduanya pendukung LNA– diketahui memiliki banyak jet tempur Mirage.
Seorang jubir Angkatan Bersenjata Mesir mengatakan tidak ingin berkomentar sebelum laporan itu dipublikasikan.
Laporan PBB itu mengatakan pesawat-pesawat tempur Mirage itu menggunakan dua pangkalan udara di Libya, yaitu Jufra dan Al-Khadim.
Pada tahun 2017, PBB mengatakan bahwa UEA membangun pangkalan udara di Al-Khadim dan memberikan dukungan serangan udara untuk pasukan LNA pimpinan Jenderal Haftar.
Laporan rahasia itu menyimpulkan bahwa “kemungkinan besar” serangan udara tersebut dilakukan dengan peluru-peluru kendali berpresisi tinggi oleh sebuah jet tempur yang dioperasikan sebuah negara anggota PBB dalam rangka memberikan dukungan untuk pasukan Haftar.
Laporan itu tidak menyebut nama negara tertentu, dengan alasan bukti-buktinya masih terus dikumpulkan.
UEA dan LNA tidak memberikan komentar ketika dihubungi berkali-kali oleh BBC.
“Apabila ada bukti konkret intervensi militer langsung oleh negara-negara asing, maka hal tersebut sama sekali tidak dapat diterima, dan perlu diselidiki pada tingkat yang paling tinggi,” kata mantan duta besar Inggris untuk Libya Peter Millet.
Sejak 2011 berlaku embargo senjata atas Libya. Pada bulan Agustus 2019, Uni Emirat Arab menandatangani sebuah komitmen untuk tetap mematuhi embargo itu bersama Inggris, Amerika Serikat, Prancis dan Italia.*