Hidayatullah.com — Belakangan, masayarakat digemparkan dengan ritual maut yang tewaskan 11 orang di Pantai Payangan Jember. Ritual itu dilakukan oleh kelompok Tunggal Jati Nusantara yang dipimpin oleh Nur Hasan.
Lalu, siapakah sosok Nur Hasan sebenarnya yang memimpin ritual maut itu?
Kades Dukuh Mencek Nanda Setiawan mengatakan Nur Hasan merupakan warga Dusun Botosari, Desa Dukuh Mencek, Sukorambi, Jember. Pria 35 tahun itu mempunyai dua istri.
Istri pertama tinggal bersamanya di dusun tersebut bersama ibunya. Dari istri pertama Nur Hasan tidak mendapatkan anak. Nur Hasan kemudian menikah lagi dengan Siti Zubaidah, seorang janda yang membawa satu anak bernama Pinkan dari pernikahan sebelumnya.
Dari pernikahannya dengan Ida, Nur Hasan mendapatkan satu anak yang saat ini berusia 2 tahun. Istri dan anak tiri Nur Hasan tersebut menjadi korban tewas ritual Pantai Payangan.
“Bukan kiai, bukan ustadz. Ya orang biasa, masih muda. Usia kurang lebih 35 tahun. Biasa interaksi dengan masyarakat, ya biasa,” ujar Kades Dukuh Mencek Nanda Setiawan kepada wartawan, Selasa (15/2/2022).
Jenjang pendidikan Nurhasan hanya lulus sampai tingkat SMA. Tapi, memiliki kepiawaian tersendiri, yaitu semenjak usia remaja dikenal cakap berbicara di hadapan banyak orang.
Nanda menambahkan Nur Hasan pernah cukup lama meninggalkan dusunnya dengan mengadu nasib ke Malaysia. Pada 2014, ia kembali ke dusunnya. Ia sempat bekerja menjadi MC Dangdut dan jualan online hingga akhirnya ia mendapatkan cukup banyak pengikut dengan perkumpulannya tersebut.
Nanda menyebut Tunggal Jati Nusantara berawal dari orang-orang yang datang untuk berobat ke Nur Hasan. Lama kelamaan banyak orang yang datang dan akhirnya menjadi kelompok atau perkumpulan.
“Awalnya berobat, orang yang datang ke sana pastilah orang yang susah. Ya mungkin sakit, kesulitan ekonomi, masalah keluarga. Sepengetahuan saya, yang datang ke sana ya orang-orang yang susah,” kata Nanda.
Nanda menambahkan kegiatan kelompok yang berdiri sudah 2 tahun itu dilakukan setiap malam Jumat. Kegiatan itu biasanya berupa ngaji dan selawatan. Nanda menyebut tak ada para tetangga yang protes atau komplain soal kegiatan kelompok tersebut.
“(Malam) Jumat Wage apa Jumat Pon gitu. Pokoknya sebulan dua kali. Ya ngaji lah. Karena memang kegiatannya seperti itu ya sudah. Selama masyarakat tidak resah ya sudah,” lanjut Nanda.*