Hidayatullah.com- Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia menyoroti kondisi penegakan hukum di Indonesia belakangan ini khususnya sepanjang tahun 2020. MUI menilai, penegakan hukum yang adil, konsekuen, dan konsisten masih menjadi tantangan berat bagi kehidupan kenegaraan di Indonesia selama tahun ini.
Masyarakat, kata MUI, masih kencang menyuarakan belum optimalnya kesetaraan perlakuan dalam penegakan hukum (equal before the law) dalam penyelesaian kasus-kasus hukum yang muncul.
“Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI mendorong agar segera dilakukan reformasi secara mendasar terhadap semua Institusi Penegak Hukum. Karena penegakan hukum yang adil, konsekuen, dan konsisten merupakan syarat mutlak bagi sebuah bangsa yang maju,” bunyi Taushiyah Akhir Tahun 2020 MUI yang ditandatangani Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar bersama Sekretaris Jenderal Amirsyah Tambunan, dibacakan langsung Sekjen MUI pada acara Pengukuhan dan Taaruf Dewan Pimpinan MUI Periode 2020-2025 di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Kamis (24/12/2020).
Selain menyinggung penegakan hukum, MUI juga menyoroti rendahnya keteladanan moral dari para pejabat publik yang masih menjadi fakta tidak bisa dipungkiri. Kasus korupsi, kasus asusila, dan kasus penyalahgunaan narkoba banyak menerpa para pejabat publik di negeri ini. “Lemahnya sistem hukum yang ada menjadikan tidak munculnya efek jera di tengah masyarakat, sehingga kasus serupa terus saja terjadi lagi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI mendorong agar diberlakukan hukuman yang lebih berat bagi para pejabat publik yang terbukti melakukan korupsi, tindakan asusila, dan penyalahgunaan narkoba. Khusus terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, agar diberlakukan asas pembuktian terbalik dan dikenakan hukuman paling maksimal.
“Karena prasyarat untuk menjadi bangsa yang maju antara lain pejabat publiknya harus jujur, amanah dan selalu menjaga moralitasnya,” imbuhnya.
Baca: Polisi Tersangkakan Habib Rizieq, MUI Tuntut Keadilan dan Penegakan Hukum untuk Semua
MUI juga menyinggung tentang penetapan peraturan perundangan yang dinilai tidak sejalan dengan aspirasi sebagian besar masyarakat yang masih berlangsung selama tahun 2020 ini. Beberapa peraturan perundangan ditetapkan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam Pancasila yang menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara. “Padahal peraturan perundangan jika sudah disahkan akan mengikat bagi semuanya tanpa pandang bulu dan sangat berpengaruh pada kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI mengingatkan kepada Lembaga legislative dan eksekutif agar dalam merumuskan suatu peraturan perundangan menyerap dan mengakomodasi aspirasi masyarakat, menyesuaikan dengan amanat konstitusi, dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Tak lupa, MUI mengajak semua komponen bangsa untuk melakukan muhasabah terhadap pergantian tahun 2020 dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan daya saing SDM bangsa yang unggul di dunia internasional.
Sebagaimana diketahui, kondisi penegakan hukum belakangan ini menjadi sorotan publik khususnya terkait kasus penembakan mati terhadap 6 anggota Front Pembela Islam oleh aparat kepolisian di sekitar KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, Senin (07/12/2020). Sejumlah pihak menduga telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut. Sementara itu, Imam Besar FPI ditahan Polda Metro Jaya atas karena kasus kerumunan, di saat banyak pihak menyoroti kasus pelanggaran protokol oleh kelompok lain yang tidak ditindak hukum.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas, menuntut aparat penegak hukum agar berlaku adil dalam menegakkan hukum untuk semua.
“Kalau ada orang yang melanggar hukum tentu jelas bisa ditetapkan sebagai tersangka, tetapi kalau ada pihak lain yang juga melakukan hal yang serupa maka mereka tentu juga harus ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Buya Anwar kepada hidayatullah.com di Jakarta, Jumat (11/12/2020) saat diminta tanggapannya tentang penetapan status HRS tersebut dan rencana Polda Metro Jaya menangkap HRS dkk.
Buya Anwar menilai kalau penetapan tersangka tidak dilakukan terhadap semua pelanggar protokol kesehatan, maka tentu akan mengusik rasa keadilan. “Dan hal itu tentu jelas tidak baik karena akan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat, karena akan ada kesan di masyarakat para penegak hukum dalam penegakan hukum ada tebang pilih, padahal semua orang harus diperlakukan sama di depan hukum,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Ketua PP Muhammadiyah ini mengharapkan agar semua orang atau pihak yang melakukan hal yang sama seperti yang dipersangkakan terhadap HRS tanpa kecuali juga harus dijadikan sebagai tersangka.
“Kalau hal itu tidak dilakukan, maka berarti penegak hukum tidak melakukan tugasnya sebagai penegak hukum yang adil dan baik dan itu jelas tidak baik. Karena akan merusak citra dari para penegak hukum dan hukum itu sendiri dan itu sangat-sangat tidak baik bagi kehidupan kita sebagai suatu bangsa,” ujar Sekjen MUI periode 2015-2020 ini.*