BANYAK di antara kita yang belum faham, berbeda dengan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus untuk merayakan berakhirnya penjajahan, Hari Ulang Tahun Negara Zionis Israel yang diperingati setiap 14 Mei justeru merayakan dimulainya sebuah penjajahan.
Tanggal 14 Mei 1948 merupakan titik kulminasi rangkaian teror yang digencarkan jaringan-jaringan teroris Stern, Irgun, dan Hagana sejak dua tahun sebelumnya terhadap bangsa Palestina, yang bertujuan mengusir sebanyak mungkin rakyat non-Yahudi dari tanah Palestina dengan pembunuhan, perampokan, penghancuran, penculikan dan penyiksaan. Rangkaian peristiwa itu disebut An-Nakbah (Musibah Besar).
Penduduk tanah Palestina yang tadinya hidup secara damai antara mayoritas Muslim dan minoritas Kristen dan Yahudi, berubah jadi kacau sejak orang Yahudinya kesusupan ideologi laten Zionisme.
Ideologi Zionisme yang memaksakan ketinggian kelas Yahudi atas bangsa manapun di dunia didukung baik secara persenjataan, keuangan, dan politik oleh Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.
Perayaan HUT “Israel” adalah perayaan gerakan terorisme multinasional yang didukung negara.
Clive Soley, waktu itu ketua fraksi Partai Buruh di parlemen Inggris tahun 2001, tak bisa menyembunyikan kegeramannya terhadap seorang pemuda Indonesia yang datang ke kantornya dan bertanya, “Sampai kapan Inggris akan membantu ‘Israel’ yang secara geografis jauh dari Inggris, dan secara demokrasi jauh panggang dari api karena negara itu didirikan atas dasar tirani minoritas?”
Soley, salah satu politisi Partai Buruh paling senior saat itu, dengan suara bergetar mengatakan, “Dengan harga berapapun kita harus mempertahankan keberadaan ‘Israel’.”
Saat pertemuan itu berakhir, Soley membuang muka saat bersalaman dengan sang penanya.
Sikap Soley mewakili pemerintah Inggris yang mendukung gerakan teror “Israel” oleh negara, bahkan oleh negara-negara. Kalau berbagai teror negara terhadap rakyat di zaman Orde Baru sering dijadikan contoh paripurna bagi “State Terrorism”, maka “Israel” merupakan contoh paripurna bagi “Multinational States Terrorism” atau lebih eloquent-nya “United States of Terror”.
Orang Indonesia yang termakan oleh tipuan “Israel” dan memandangnya sebagai negara demokratis harus lebih cermat mengikuti perkembangan berita dalam negeri “Israel” sendiri.
Dalam dua tahun terakhir, salah satu headline berita-berita koran di negeri penjajah itu adalah penolakan pihak imigrasi “Israel” untuk memberi kewarganegaraan kepada anak-anak yang terlahir dari rahim para pekerja imigran yang mencari nafkah di situ seperti dari Filipina, Cina, dan sebagian Afrika. Alasannya, mereka tidak berdarah Yahudi.
Gerakan Zionisme dan negara yang didirikannya “Israel” tidak akan pernah menjadi negara normal seperti yang selama ini difahami oleh benak masyarakat Indonesia, karena sifat-sifat berikut ini:
* “Israel” didirikan dengan cara menteror rakyat yang lemah yang sejak tahun 1917 tanah-tanahnya diinvasi oleh penjajah Inggris.
* “Israel” didirikan di atas tanah dan laut yang dirampok dari para pemiliknya yang sah, yang sampai hari ini masih memegang kunci-kunci rumahnya, meski kemungkinan besar rumah-rumah mereka sudah diratakan dengan tanah.
* “Israel” dipertahankan keberadaannya dengan cara menteror negara-negara yang menjadi tetangganya yang berbatasan langsung: Lebanon di utara, Syria di timur laut, Yordania di timur dan tenggara, dan Mesir di selatan.
Satu lagi perkembangan mutakhir yang harus dicermati oleh mereka yang bersedia menerima tipuan “Israel” sebagai “negara” adalah, pernyataan tegas Presiden “Israel” Shimon Peres yang menolak hak 7 juta pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah Palestina, meskipun kelak akan berdiri negara Palestina merdeka.
Pernyataan Peres ini saja sudah menunjukkan ketiadaan keinginan untuk “berdamai”. Bukan karena hal itu bisa merugikan “Israel”, namun karena “Israel” ini sejak pembibitannya memang merupakan sebuah negara warmonger, negara pemicu perang. Bacalah lebih cermat sejarah “Israel” yang selalu merupakan sirkulasi prosedur tetap berikut ini:
Agresi–perang–pura-pura damai–pengkhianatan pada perjanjian damai–agresi lagi–perang lagi-pura-pura damai lagi–pengkhianatan pada perjanjian damai lagi–agresi lagi–perang lagi–pura-pura damai lagi…
Dari 10 negara ASEAN, ada 3 yang belum mau mengakui “Israel” sebagai negara: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Itu karena sejak awal para pemimpin di ketiga negara ini sadar, bahwa mengakui “Israel” sebagai negara berarti menerima dan mengakui penjajahan dan penzaliman Belanda dan Inggris atas diri mereka sendiri selama ratusan tahun.
Bagi Indonesia, jika kita mengakui perampokan dan penjajahan “Israel” atas Palestina sebagai sebuah negara yang sah, maka harus diiringi dengan pengembalian kedaulatan kepada perampok dan penjajah Belanda.
Nama Indonesia juga harus dihapus lagi, diganti dengan nama “Hindia Belanda”. Karena “Israel” memiliki sifat-sifat yang seratus persen sama dengan “Hindia Belanda”.*