Hidayatullah.com—Pemimpin senior Hamas Ismail Haniyah menyerukan pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk mengakhiri perpecahan Palestina. Haniyah mengatakan pemerintah persatuan di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki mampu menjalankan tiga tugas yang bisa menjadi pintu gerbang untuk mengakhiri konflik.
“Tugas pemerintah persatuan adalah mempersatukan lembaga-lembaga Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Gaza, mempersiapkan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden, serta pemilihan Dewan Nasional,” jelas dia.
Menurut dia, tugas yang ketiga berkaitan erat dengan upaya mengakhiri blokade Israel di Jalur Gaza dan menghadapi pendudukan di Tepi Barat. “Saya pikir ini mudah [membentuk pemerintahan persatuan] karena kami telah mencapai banyak kesepakatan mengenai masalah ini,” kata pimpinan Hamas itu dikutip Anadolu Agency.
Gaza berada di bawah pemerintahan Mesir sebelum Israel menduduki wilayah itu dalam perang Arab-Israel tahun 1967. Tapi akar Hamas juga dapat ditelusuri ke Islamis yang ditoleransi untuk sementara waktu oleh Israel sebagai penyeimbang Organisasi Pembebasan Palestina sekuler.
Tepi Barat dan Jalur Gaza terpecah secara politik dan administratif sejak 2007, ketika Hamas merebut kendali atas jalur Gaza dari Fatah, yang merupakan rumah bagi hampir 2 juta warga Palestina. Fatah didukung Barat dan Israel, sementara Hamas didukung mayoritas rakyat Palestina.
Perang meletus setahun setelah Hamas memenangkan pemilihan parlemen Palestina pada tahun 2006 tetapi keberatan dengan persyaratan yang ditetapkan oleh AS, Rusia dan kekuatan internasional lainnya untuk mengajak berdamaian dengan penjajah ‘Israel’. Untuk menekan sayap pembebasan Palestina dan Baitul Maqdi, tahun 2008, Departemen Luar Negeri AS mendaftarkan Haniyah dan para pejuang Palestina lain sebagai ‘teroris’
Kunjungi Pengungsi di Lebanon
Sebelumnya, Ismail Haniyah mengunjungi kamp pengungsi Palestina di Lebanon. Ia mengatakan, siap menggunakan kamp pengungsi di Lebanon selatan sebagai tempat persiapan untuk mengancam penjajah ‘Israel’, mengatakan kelompok pembebasan itu memiliki rudal yang dapat menyerang Tel Aviv.
Kunjungan Haniyah ke kamp Ein El Hilweh menutup perjalanan selama seminggu ke Lebanon, di mana dia mengadakan pertemuan dengan visibilitas tinggi dengan politisi Lebanon yang didukung Iran dan Hizbullah.
“Ketika saya memasuki Ein El Hilweh dan berjalan di antara orang-orangnya dan di bawah senapan dan senjatanya, seolah-olah saya sedang berjalan di Gaza dan di antara Brigade Qassam,” kata Haniyah pada rapat umum di kamp, dikutip The Nation.
Haniyah juga bertemu perdana menteri sementara Lebanon Hassan Diab, menghadiri rapat umum pada hari Sabtu dengan ulama Islam. Di antara mereka yang bertemu Haniyah di adalah Ziad Nakhaleh, kepala Jihad Islam, salah satu kelompok bersenjata di wilayah tersebut.
Lebanon memiliki 470.000 pengungsi Palestina yang terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mereka dilarang mendapatkan kewarganegaraan Lebanon dan dilarang memiliki pekerjaan, kecuali untuk sebagian besar pekerjaan kasar.*