Yahya Sinwar mempunyai latar belakang menghafal Al-Qur’an, seorang pemuda Islam tangguh, dan telah menjadi seorang ideolog di usia 18 tahun
Hidayatullah.com | CERITA ini sebelumnya telah diedit dari sesi podcast Arabi Post bersama teman kuliah al-Syahid Yahya Sinwar di Universitas Islam Gaza, Dr. Ma’mun Abu Amer, seorang analis politik Israel. Inilah kisah yang diungkap Dr Ma’mun;
Foto di atas itu diambil pada tanggal 15 November 1980. Foto ini sebenarnya ada di arsip fotoku, dan sebenarnya ada lagi fotoku bersama Yahya Sinwar.
Saya mulai mengenalnya secara umum ketika saya masih duduk di bangku sekolah, namun saat itu belum ada hubungan intim.
Awal mula perkenalan lebih dekat baru terjadi ketika Universitas Islam Gaza (UIG) dibuka dan kami merupakan angkatan pertama. Sebanyak 15 mahasiswa mendaftar dari seluruh Gaza untuk melanjutkan studi di UIG.
Jadi, kami memang saling mengenal, apalagi saya dan Sinwar berasal dari tempat yang sama, yaitu Khan Younis.
Pada saat itu, atau tepatnya peralihan dari tahun 70an ke tahun 80an, Gerakan Islam baru mulai berkembang di kalangan masyarakat Gaza. Saya dan Sinwar pun tak ketinggalan mengikuti arus ini.
Namun Sinwar dipandang lebih maju karena mempunyai kedekatan dengan beberapa syekh yang berasal dari desa kami, yaitu: Dr. Mahmud Siyam dan al-Syeikh Said al-Zughrub. Mereka adalah generasi pertama al-Ikhwan al-Muslimun di Gaza.
Setelah berlalunya beberapa tahun Perang (Naksah) tahun 1967, perekonomian di Gaza bisa dikatakan berangsur pulih dan berkembang dengan baik. Saya tidak keberatan mengatakan bahwa, pada akhir tahun 70an, masyarakat di Gaza tidak terlalu condong ke arah Islam.
Namun Sinwar yang saat itu masih remaja sudah memiliki tekad dan kecintaan yang kuat terhadap masalah agama. Berbeda dengan apa yang terjadi pada saya, karena sejak saya berumur 10 tahun, saya lebih condong pada isu-isu politik.
Meski usia Sinwar masih 18 tahun, saya bisa melihat dengan jelas bahwa beliau adalah seorang Ideolog Islam, karena Sinwar sejak awal sudah aktif mengajak kami untuk berkumpul dan beramal.
Saat kita berkumpul dan duduk bersama, bacaan Al-Quran dan hadits menjadi inti utama diskusi kita. Saya masih ingat, di beberapa awal ‘jilsah’ bersama Sinwar, beliau menyarankan untuk membaca dan mengaji Surat al-Hasyr.
Mendengar saran dari Sinwar ini, kami merasa aneh dan takjub. Karena sebagian besar dari kita mempunyai latar belakang menghafal Al-Qur’an, maka kebiasaan kita mengawalinya dengan menghafal surah-surah pendek, khususnya Juz Amma.
Namun tidak bagi Sinwar, beliau secara khusus memilih Surah al-Hasyr, hal ini membuat saya pribadi merasa sangat terkejut. Setiap saat beliau sering berdiskusi dengan kami isi Surat al-Hasyr.
Yang paling penting adalah tentang ‘masalah Yahudi’ dan ‘eksodus Yahudi dari Madinah’. Saat membaca surah ini, yang sering terlintas di benak Sinwar adalah bagaimana cara ‘mengusir’ kaum Yahudi (Negara Ilegal Israel) yang merampok tanah Palestina.
Jadi menurut saya ada 2 sudut pandang penting yang ada di Sinwar saat itu, dia memiliki: kekuatan pemikiran Islam dan pandangannya yang mendalam mengenai upaya mengusir Israel dari Palestina berakar pada Surat al-Hasyr.
Maka dari itu, saat pecahnya “Operasi Taufan al-Aqsha”, pikiran dan ingatan saya melayang kembali ke kejadian saat kami masih remaja dan akankah diskusi dan Impian Sinwar saat itu benar-benar menjadi kenyataan saat ini?
Sebab, ayat 2 Surat al-Hasyr seolah paralel dengan kejadian tanggal 7 Oktober, penjajha Israel diserang dari tempat yang tidak pernah mereka duga, yakni dari Jalur Gaza.
هُوَ الَّذِيْٓ اَخْرَجَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِاَوَّلِ الْحَشْرِۗ مَا ظَنَنْتُمْ اَنْ يَّخْرُجُوْا وَظَنُّوْٓا اَنَّهُمْ مَّانِعَتُهُمْ حُصُوْنُهُمْ مِّنَ اللّٰهِ فَاَتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوْا وَقَذَفَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُوْنَ بُيُوْتَهُمْ بِاَيْدِيْهِمْ وَاَيْدِى الْمُؤْمِنِيْنَۙ فَاعْتَبِرُوْا يٰٓاُولِى الْاَبْصَارِ
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang yang kufur di antara Ahlulkitab (Yahudi Bani Nadir) dari kampung halaman mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar. Mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menjaganya dari (azab) Allah. Maka, (azab) Allah datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sangka. Dia menanamkan rasa takut di dalam hati mereka sehingga mereka menghancurkan rumah-rumahnya dengan tangannya sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka, ambillah pelajaran (dari kejadian itu), wahai orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati).” (Surat al-Hasyr: 2)
Namun, dari satu sudut pandang, saya yakin tanpa keraguan sedikit pun bahwa Sinwar adalah tokoh utama “Operasi Tauf al-Aqsha” yang hebat ini.
Di antara poin penting yang saya temukan pada diri Abu Ibrahim, nama Kuniyah Yahya Sinwar, adalah kepribadiannya sejak kecil. Abu Ibrahim mempunyai dua sifat utama, yaitu ruh yang luar biasa dan kebijaksanaan.
Saya masih ingat saat kita kuliah di UIG, Abu Ibrahim awalnya memilih IPA, namun ia termasuk mahasiswa yang sangat sibuk dengan urusan tertentu dan terkadang ia bolos masuk kelas.
Beliau sering menyuruh saya untuk mendengarkan ceramah dosen di kelas dan beliau akan meminta saya untuk menjelaskannya kembali. Ajaibnya, hanya dengan satu penjelasan, dia mampu mengerjakan semua pelajaran yang kita pelajari di kelas.
Seiring berjalannya waktu, Abu Ibrahim menyadari bahwa dirinya adalah seorang pelajar yang sibuk, sehingga ia memutuskan untuk mengalihkan bidangnya ke bahasa Arab. Saat mengambil keputusan itu, ia sangat yakin akan mampu menguasai bidang tersebut dan mampu melanjutkan studi hingga jenjang Master.
Saya tidak meragukan kemampuan Abu Ibrahim, karena saya tahu sejak awal bahwa ia sudah mampu membaca ayat-ayat Al-Qur’an di usia muda. Bahkan, ia hafal berbagai Puisi dan Prosa Arab.
Dengan kemampuan Abu Ibrahim yang luar biasa dalam berbahasa Arab, ia telah memberikan kesempatan yang luas baginya untuk mengerahkan tenaganya secara optimal dalam menggerakkan Himpunan Mahasiswa Islam yang dipimpinnya.
Bahkan, tak hanya massa pelajar saja yang ia fokuskan, namun karya amal masyarakat juga mendapat perhatian Abu Ibrahim.
Sejak remaja saya melihat Abu Ibrahim mempunyai berbagai macam keterampilan antara lain: membangun gedung, berjualan, memotong rambut dan masih banyak lagi.
Menariknya lagi, foto kami yang viral sebenarnya kami berfoto di depan sebuah bangunan kecil di UIG, namun bangunan tersebut belum lengkap, sehingga saya dan Abu Ibrahim membuatkan ruangan untuk bangunan tersebut.
Suatu ketika, bersama Abu Ibrahim, saya membangun rumah di Gaza yang dihancurkan oleh rezim Zionis. Abu Ibrahim melakukan amal tersebut dengan ikhlas dan tidak mengharapkan imbalan duniawi.*/ Diedit Anas Bad Latief, peneliti Dunia Palestina
Bersambung…tulisan kedua