Hidayatullah.com– Sampai saat ini, isu mengenai gagasan Islam Nusantara masih terus bergulir. Bahkan banyak definisi yang muncul, baik dari pihak penggagas Islam Nusantara itu sendiri maupun dari pihak lainnya yang ikut mencoba memberikan tanggapan.
Maka dari itu, hidayatullah.com berkesempatan mewawancari secara ekslusif Pakar Sejarah Islam dan Jawa, Susiyanto untuk memberikan gambaran seperti apa konsep Islam Nusantara jika ditilik dari konteks Islam dan budaya. Berikut hasil wawancaranya.*
Bagaimana pandangan anda terhadap gagasan Islam Nusantara?
Saya amati gagasan Islam Nusantara sampai hari ini belum memiliki pengertian yang disepakati. Beberapa pandangan yang saya lihat, berupaya mengidentifikasi bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang secara khas memiliki perbedaan dengan Islam Arab dan sebagainya.
Perbedaannya terletak dimana?
Pertanyaan itu rupanya belum bisa dijawab secara tuntas oleh pengusung atau penggagas Islam Nusantara itu sendiri. Jika yang dimaksud bahwa perbedaan tersebut terletak pada kebudayaan yang mengiringi proses penyebaran Islam yang saat ini melekat pada praktik kehidupan beragama umat Islam, maka perlu diamati terlebih dahulu aspek budaya itu sendiri.
Termasuk hal yang ushul atau sekadar furu’. Budaya itu sendiri dalam Islam mestinya harus ditempatkan sebagai indikator perkembangan dakwah di masyarakat. Melalui budaya, tingkat keberhasilan dakwah bisa diamati. Jadi kebudayaan yang melekat pada umat Islam di suatu wilayah mestinya dipandang dengan cara demikian.
Apakah menurut anda ada pencampuran antara budaya nusantara dengan Islam dalam gagasan Islam Nusantara?
Perlu dipahami bahwa ketika Islam datang ke nusantara, awal mulanya para da’i kita mengalami pertemuan dengan kebudayaan setempat. Di antara budaya-budaya tersebut ada yang telah memiliki nilai-nilai sakral sebab pernah menjadi bagian dari ritual tertentu. Ketika berhadapan dengan wujud budaya semacam ini para da’i kita cenderung menerapkan konsep desakralisasi. Artinya penghilangan sakralitas dari suatu wujud budaya. Sebab, budaya menurut Islam bukan sesuatu yang boleh disakralkan. Kesakaralan itu sendiri terletak dalam ajaran Islam terkait dengan ibadah dan aqidah.
Jadi ada proses desakralisasi?
Iya, prosesnya adalah desakralisasi, bukan dekulturalisasi. Apa yang kita lihat seolah-olah sebagai sinkretisme (mencampurkan budaya dengan ajaran Islam,red) tersebut sebenarnya merupakan bagian dari proses desakralisasi yang belum selesai.
Bagaimana sikap umat Islam menyikapi gagasan atau pemikiran Islam Nusantara?
Cermati dulu perkembangannya sebab konsep tersebut sebenarnya masih simpang siur. Sembari memahamkan kepada masyarakat tentang bagaimana proses dakwah telah berjalan. Penting kiranya masyarakat memahami sejarah Islamisasi di nusantara agar tidak terbawa arus kepentingan yang tidak selalu berpihak kepada Islam.*