Hidayatullah.com—Beberapa anak duduk melingkar di sebuah taman. Mendengar secara serius penjelasan sang ustadzah (guru).
“Anak-anak coba perhatikan rumah itu… tiangnya dimana?”
“Di bawah atapnya”….
“Kalau langit… dimana ya tiangnya?”
“Wah… dimana ya… kayaknya gak ada deh…”
Begitulah anak-anak diajak mengenali Sang Pencipta sambil bermain di Schwanheim, tempat memanggang gratis di pinggiran kota Frankfurt, Jerman. Acara semakin meriah karena orang tua mereka, hadir dan ikut sibuk dengan kegiatannya. Ada yang mendengarkan walau sambil lari kesana-kemarin. Ada yang cuma duduk anteng. Acara dilanjutkan dengan arisan.
Acara biasa dilanjutkan dengan pembacaan tilawah dan tadabbur. Kemudian dilanjutkan diskusi. Temanya macam-macam, kadang seputar Islam, kesehatan, gizi, psikologi anak dan management stress. Mereka datang dari berbagai latar belakang akademik. Ada yang dokter anak, psikolog, ekonom. Mereka adalah kelompok Fortu (Forum Orangtua), yang biasa mengantar anak-anak mereka memperolah pelajaran. Sebagian sedang mengikuti suami atau sedang melanjutkan studinya.
Itulah cuplikan kegiatan TPA Frankfurt. TPA singkatan dari Taman Pendidikan Al Qur’an, sebagaimana layaknya yang berkembang di Tanah Air.
Tentu jangan membayangkan keberadaannya sama persis dengan di Tanah Air. Kegiatan TPA di Frankfurt, hanya sepekan sekali, setiap hari Sabtu pekan kedua setiap bulannya. Pesertanya pun tidak terlalu banyak, hanya sekitar 21 anak. Itupun datang dari jauh. Jaraknya bisa 20 hinggal 30 meter.
Program TPA ini, hanyalah program pendidikan tambahan saja. Umumnya, sebagian besar mereka sudah mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah umum di Jerman. Selain itu, di tempat mereka masing-masing, beberapa anak, sudah mengikuti kegiatan sehari-hari di masjid-masjid terdekat,di tempat tinggal mereka. Sering disebut Qur’an School, yang jadwalnya dua kali per pekan.
Kalau di masjid, mereka biasanya belajar di ruangan kelas khusus. Ada meja, kursi dan papan tulis. Kadang-kadang dilengkapi dengan laptop dan beamer sebagai sarana tambahan.
Sedang TPA lain lagi. Mereka belajar di taman. Sarana nya hanya tikar. Ustadzah (guru) nya membawa bahan-bahan peraga atau bahan permainan. Walaupun diprogramkan hanya sekali dalam sebulannya, TPA Frankfurt ini diharapkan menjadi ajang di mana mereka merasa bahwa mereka tidak sendirian menjadi Muslim di lingkungannya. Anak-anak diajarkan tentang Islam dan cara mengamalkankannya.
Dari Obrolan
Membesarkan anak di Negeri asing, boleh dibilang gampang-gampang susah. Sebagaimana membesarkan anak Muslim yang besar di Eropa. Tantangan tersebut berupa kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka memiliki warna kulit, rambut, makanan serta budaya yang berbeda. Kenyataan ini dirasakan oleh Tieneke Ayuningrum. Ibu tiga orang anak yang kini sedang melanjutkan studi di FH Karlsruhe, Jerman.
Menurut Ayuningrum, ada beberapa problem yang dihadapi, terutama saat menanamkan pelajaran agama. Sebagai contoh; Saat orangtua mereka mulai mengenalkan puasa dan mengajak latihan berpuasa, lalu guru di sekolah menelpon ke rumah dengan nada marah mengatakan bahwa anak kecil tidak boleh berpuasa dengan alasan membahayakan kesehatan. Ibu dari anak tersebut telah menjelaskan bahwa hari itu anaknya sendiri yang meminta untuk berlatih berpuasa, ia sama sekali tidak memaksanya dan ia juga sudah berpesan kepada anaknya bahwa ia boleh berbuka puasa kapan saja ia mau karena memang masih latihan. “Guru tersebut tetap saja tidak mau menerima, “ujarnya Ayu kepada hidayatullah.com.
Problem lainnya yang dirasakan Ayu adalah saat di sebuah keluarga. Apakah itu ayahnya seorang jerman yang masih belum banyak memahami Islam, ataukah dari kakek-neneknya yang masih non-Muslim. Ada terjadi ’tarik-menarik’ pengaruh terhadap sang anak. Biasanya, sang ibu mencoba mulai mengenalkan kepada anak-anaknya tentang shalat, puasa, menjaga makanan halal, namun pihak lain menentangnya dengan alasan terlalu dini, kesehatan dan lain-lainnya yang dibuat-buat.
“Maka dapat dibayangkan, keseharian anak-anak Muslim yang tinggal di Eropa di bombardir oleh kondisi yang sangat tidak kondusif oleh lingkungannya,” tambah Ayu. Perasaan seperti ini nampaknya juga dirasakan keluarga Muslim lainnya.
Maka, suatu ketika, sepasang orang orangtua muda, dimana ayah dan ibu adalah orang Indonesia asli, Namanya Carolina Desy Sumbajak, ia seorang mualaf yang lahir dan besar di Frankfurt. Carolina memiliki dua orang anak laki-laki, masing-masing berumur 5 dan 3 tahun. Menyadari kenyataan seperti diatas, mereka memiliki ’concern’ yang sangat besar terhadap perkembangan keislaman kedua anaknya. Mereka lalu mengajak para orangtua lainnya untuk mengadakan suatu program khusus untuk anak-anak Muslim indonesia disekitar mereka.
Berawal dari obrolan ringan menjelang Ramadhan tahun lalu, maka lahirlah TPA Frankfurt, tempat berkumpul, bermain dan belajarnya anak-anak Muslim Indonesia di Frankfurt dan sekitarnya.
Dari obrolan sana-sini, akhirnya TPA Frankfurt menemukan guru yang handal untuk mengajar. Namanya Mardiyati S.Si.,M.T. Kebetulan saat ini ia sedang melakukan riset S-3nya di Institut Max Planck, Mainz yang sebelumnya terbiasa mengajarkan anak-anak sewaktu di ITB Bandung.
Menurut Ayu, hingga saat ini ada sekitar 21 “santri” TPA Frankfurt yang tercatat resmi aktiv ‘mengaji’. ”Jumlah peserta potensial yang masih bisa diajak bergabung rutin 10 hingga 20 anak, “tambahnya.
TPA Frankfurt, merupakan modifikasi dari kegiatan-kegiatan TPA-TPA yang ada di tanah air. Anggota TPA Franfrurt tidak berada di satu kota. Mereka berjarak hingga 60-an km satu sama lain. Selain itu dari para orangtua yang mengantarkan tidak memiliki waktu setiap pekannya, juga dari sebagian anak-anak yang mengikuti TPA Frankfurt ini sudah mengikuti ’Arabic atau Qur’an Schule di Masjid Arab sehari-harinya di kotanya masing-masing. Karena kondisi itu, maka TPA Frankfurt hanya bertemu sebulan sekali.
Berbahasa Indonesia
TPA Frankfurt sengaja diprogramkan berbahasa Indonesia karena selain bertujuan membantu mengenalkan Islam kepada anak-anak Muslim Indonesia, juga membantu para orang tua melatih bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka.
Walaupun diprogramkan hanya sekali dalam sebulannya, TPA Frankfurt ini diharapkan menjadi ajang dimana mereka merasa bahwa mereka tidak sendirian menjadi Muslim di lingkungannya yang tidak kondusif dan mereka melihat bahwa anak-anak Muslim lainnya sama-sama belajar tentang Islam dan belajar mengamalkan Islam.
Lebih jauh diharapkan pula bahwa anak-anak Muslim yang tinggal di Eropa, tidak hanya sekedar ’survive’ sebagai seorang Muslim, tapi juga mampu menjadi seorang duta Islam di Eropa yang memiliki sifat-sifat : keyakinan yang kuat tentang Islam, bangga sebagai Muslim, cakap dan trampil, ’progressive’ dan ’initiative’, serta sabar dan istiqomah, ujar Ayu.
Dengan penekanan kurikulum pada Aqidah, aktivitas TPA Frankfurt ini cukup bervariasi. TPA Frankfurt sendiri merupakan salah satu kegiatan swadaya masyarakat Muslim Indonesia di Frankfurt yang belum terlalu lama diselenggarakan dan diharapkan ’independen’. Meski tempat penyelenggaraan TPA Frankfurt hingga kini masih berpindah-pindah. Kadang bisa di taman-taman publik di Frankfurt atau kota sekitarnya milik pemerintah Jerman yang cocok untuk acara piknik. Kadang bermain ataupun ber’barbecue’ atau di masjid-masjid yang ada di sekitar Frankfurt bahkan kadang di KJRI Frankfurt ataupun rumah-rumah warga. Bahkan seringkali baik baik warga TPA Frankfurt maupun mereka yang belum bergabung secara rutin dalam TPA Frankfurt ini menawarkan kediamannya untuk dijadikan tempat acara TPA Frankfurt yang jatuhnya bersamaan dengan syukuran ulang tahun anak dan lain-lain.
Untuk bulan Agustus, TPA Frankfurt berperan serta dalam acara peragaan busana daerah untuk anak-anak dalam perayaan Kemerdekaan RI ke-54 yang diselenggarakan oleh KJRI Frankfurt.
Carolina yang saat ini ditunjuk sebagai koordinator TPA Frankfurt ini mengatakan, Kami tidak ingin mendapatkan penilaian ini-itu mengenai program kami ini. Ini adalah kegiatan swadaya, di mana hanya kitalah para orangtua yang dapat menjadikan TPA Frankfurt ini baik atau sebaliknya.” Selamat!. Semoga istiqomah perjalannya! [ayu/cha/hidayatullah.com]