BUMPERNYA copot, bodinya penyok-penyok, kacanya pecah. Lampu, ban, dan spion sebagian pada lepas tak berbekas. Sekujur bodinya tersayat-sayat. Mobil hitam itu rusak parah habis mengalami insiden.
Tapi ajaib. Sopir mobil itu selamat dari kejadian. Jangankan luka parah, yang ada hanya goresan kecil di kakinya.
“Sampai sekarang saya seperti mimpi (masih) hidup,” ujar Fidyawati, sang pengemudi.
Fidya, sapaannya, seakan tak percaya dirinya masih bernyawa. Ia adalah satu dari sekian banyak korban yang selamat dari guncangan gempa dan amukan tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat, 28 September 2018.
Kisah ibu beranak satu ini bisa selamat dari bencana yang menelan korban jiwa 2.000 lebih tersebut begitu menakjubkan.
Sore itu sebelum kejadian, Fidya sedang dalam perjalanan pulang dari kampusnya, Stikes Widya Nusantara (Stikes WNP) di Jl Universitas Tadulako, Palu.
Roda empat yang dikendarainya bergerak dari arah Tondo menuju rumahnya di Jl Cemara, Kecamatan Palu Barat. Sendirian di dalam mobil, ia melewati jalan raya menyisir Pantai Talise, rute yang memang biasa ia lewati bolak balik rumah-kampus.
Sambil melantunkan shalawat atas Nabi, mengikuti irama senada dari tape mobilnya, Fidya fokus berkendara. Ia ingin cepat sampai di rumah untuk menunaikan shalat maghrib.
Baca: Kisah Relawan: Evakuasi Diancam Warga, Cari Mayat Dapat Ikan Busuk
Tiba-tiba, saat posisinya berada tidak jauh dari pertigaan Jl Talise dan Cut Mutia, ia terkejut, laju mobil dihentikan. Disaksikannya pemandangan mengagetkan. Berbagai jenis sepeda motor dan penumpangnya terjatuh, mobil-mobil saling bertabrakan di depannya. Orang-orang pada berlarian meninggalkan kendaraannya sambil berteriak-teriak.
“Gempaaaaa… Aiiiiiirrrrr… Tsunamiiiiiii…!!!
Bersamaan dengan teriakan itu mobil terasa diayun-ayunkan sangat keras. Saya menengok ke arah kanan jendela dari dalam mobil. Saya melihat air itu berdiri di dekat saya dan sangat tinggi berwarna hitam, seakan marah,” tutur Fidya di Palu kepada hidayatullah.com, Sabtu pertengahan Oktober 2018.
Itulah detik-detik “alam mengamuk” dan mulai meluluhlantakkan ibukota Sulteng dan sekitarnya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat gempa berkekuatan 7,4 skala richter terjadi pada pukul 18.02 WIB atau pukul lima sore waktu Palu, disusul tsunami sekitar 6 menit kemudian.
Detik-detik itu pula kepanikan melanda. Di dalam mobil, Fidya mengencangkan shalawat yang diputar dan diucapkannya. Rumahnya sudah berjarak sekitar 10 menit perjalanan dari tempatnya saat itu. Tapi, tiada lagi kesempatan untuk melarikan diri apalagi pulang. Ia memilih menunduk, memegang erat setir, mematikan mesin mobil, dan menutup kedua matanya. Dipasrahkan segalanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ia merasa dunia seperti sudah kiamat. Berbaris-baris doa ia panjatkan.
“La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyil adzim….
La ilaha illa Anta subhanaka inni kuntumminadzalimin.
(Saya) memohon perlindungan dan pertolongan Allah dari ‘kiamat’ itu,” ungkapnya.
Beruntung. Saat gelombang tsunami menghantam dan menyeretnya, mobil Fidya tidak langsung terbalik dan terbentur. Hanya terseret. “Seakan saya naik perahu yang didorong dari belakang mobil dengan ombak.”
Hitungan detik, ia membuka matanya, ternyata mobil yang ditumpangi sudah terseret sejauh 30-an meter dari jalan raya tadi, terdampar di halaman rumah penduduk setempat. Tapi bencana belum berakhir.
“Saya tengok lagi ke arah kanan saya dari jendela mobil, air laut berdiri lagi lebih tinggi dari yang pertama, dan membawa, mengisap reruntuhan bangunan, mobil, motor, serta semua orang-orang yang berada di pinggir pantai.”
Melihat semua itu, badan dan bibirnya gemetar. “Saya menutup mata lagi dan berdoa sambil berderai air mata. Seakan hari itu adalah hari terakhir saya hidup di dunia ini.”
Hempasan tsunami yang kedua ini sangat keras dan deras. Mobil yang Fidya kendarai pun terbentur bangunan yang runtuh, lalu tersangkut di atap rumah. Benturan itu keras, tapi keajaiban kembali terjadi.
“Di sini saya sempat kaget karena lihat balok seperti besar tiang rumah mengarah pas mukaku. Tapi tidak masuk dalam mobil sama sekali. Hanya memecahkan kaca mobil. Kaca mobil berhamburan di mukaku tapi sama sekali tidak luka di mukaku. Mukaku tidak luka sama sekali. Benar-benar kuasa Allah Yang Maha Melindungi dan Menolong,” tuturnya begitu terkesan.
Lewat lubang kaca depan yang pecah itulah, Fidya keluar sambil membawa tasnya. “Saya keluar mobil dalam keadaan bersih dan goresan luka kecil di kaki. Alhamdulillah air setetes pun tidak ada (masuk ke) dalam mobil.”
Langit sudah gelap, saat kedua kaki Fidya melangkah hati-hati di atas reruntuhan rumah. Ia amati sekelilingnya, disaksikannya suasana sangat mencekam. Suara tangisan terdengar dimana-mana. Orang-orang pada berteriak minta tolong. Mayat-mayat bergelimpangan di depan matanya.
Ia menengok ke belakang, tampak seorang ibu dan anak serta seorang kakek paruh baya yang juga selamat dari tsunami. Fidya bergegas mencari jalan turun dari atap rumah. Ia pun memegang ujung pohon bambu yang berada di belakang tembok atap rumah itu. Tak lupa ditolongnya ibu dan anak tadi untuk turun juga.
“Kami pun berlari-lari sekuat-kuatnya sambil berpegang tangan dan melafadzkan ‘La ilaha illallah’. Di perjalanan saya banyak melihat orang berlarian tak menentu dan penuh kegelisahan. Seakan kiamat itu telah tiba. Ya memang hari itu kiamat sughra. Tak terasa saya berjalan tanpa alas kaki dan tidak tahu posisi saya dimana, karena semua jalan gelap. Saya sangat kehausan. Tidak lama kemudian saya mendapatkan air dan roti yang berhamburan di jalan, lalu saya ambil dan makan.”
Bersyukur
“Allahu Akbar, Allahu Akbar… La ilaha illallah!”
Adzan isya terdengar dikumandangkan dari masjid sekitar Fidya, entah dimana. Ia segera menunaikan shalat di atas trotoar. Usai bersimpuh kepada Allah, ia berjalan ke arah atas, kawasan pemukiman yang lebih tinggi, ia mengenalinya kawasan Jl Cik Ditiro. “Di situlah saya diberikan sendal oleh bapak yang saya tidak kenal.”
Ia melanjutkan perjalanan ke arah atas dan berhenti di depan toko baju yang berantakan karena gempa. Di sini, Fidya mengganti pakaian dengan gamis yang diberikan oleh pemilik toko tersebut. Awalnya ia berniat ngutang, tapi karena tidak mau meninggalkan utang dalam keadaan seperti itu, ia memilih membeli baju pemberian tersebut.
“Karena saya takut meninggalkan utang jikalau hari itu adalah kesempatan terakhir saya hidup. Saya pun membayarnya.”
Perjalanan dilanjutkan, tapi mengarah ke bawah. Satu tujuan yang hendak dicapai, kediaman Pimpinan Pusat Al Khairat Sulawesi Tengah, Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri. “Karena saya mengingat mertua dan keluarga suami saya semua di sana.”
Hanya sekitar 5 meter berjalan kaki, tiba-tiba ada seseorang naik sepeda motor, memakai baju putih, yang menawarkan diri mengantar Fidya ke kediaman Habib Saggaf. Ia pun turut.
“Laki-laki yang baju putih bawa motor saya tidak kenal, tapi dia bilang kalau dia juga korban yang selamat dari tsunami pas dia lagi di Palu Grand Mall. Saya lupa tanya namanya.”
Sekitar pukul 22.00 WITA, Fidya pun tiba di kediaman Habib Saggaf. Artinya, sekitar 6 jam ia melewati suasana mencekam sejak kejadian sore itu. “Alhamdulillah saya sampai dan berkumpul dengan keluarga suami.” Saat peristiwa itu, suaminya sedang dinas di Jakarta, sedangkan anak semata wayangnya tengah berada di Kabupaten Toli-Toli.
Keesokan harinya, Sabtu (29/09/2018), Fidya kembali mendatangi lokasi kejadian dimana mobilnya terdampar. Kendaraan yang setia menemaninya kemana-mana ini kondisinya sangat mengenaskan. Terperosok dan tertindih puing-puing bangunan.
Mobil yang rusak parah itu tentu menelan kerugian ratusan juta rupiah bagi Fidya sekeluarga. Ia masih belum tahu mau diapakan. Tapi itu bukan masalah.
“Saya tidak pernah menghitung apa yang telah Allah titipkan buat saya apalagi harta benda (mobil) rusak ataupun hilang, mau ratusan juta atau berapa lah harga mobil,” tuturnya.
“Saya sama suami tidak pusing atau memikirkan masalah kerugian. Karena itu bukanlah milik saya, hanya Allah menitipkan harta pada saya. Kalau rusak berarti sudah waktunya Allah mengambil titipan itu dari saya. Nyawa atau keselamatan lebih berharga dibandingkan harta benda yang rusak.
Tapi saya sangat bersyukur, harta benda (mobil) yang Allah titipkan kepada saya bisa (menjadi wasilah) melindungi saya dari ‘kiamat’ itu,” ungkap mahasiswi berjilbab ini dengan mantap.
Beberapa bulan lalu, Fidya masih bekerja sebagai perawat di RSUD Anutapura Palu. Saat gempa magnitudo 7,4, Jumat (28/09/2018) itu, gedung berlantai 4 ini ambruk. Bangunannya terpisah jadi 2 bagian, yang satu sisinya tenggelam bersama seluruh pasien dan perawat yang bertugas.
Kalau boleh berandai-andai, sekiranya saat kejadian itu Fidya sedang bertugas di RS tersebut, tentu kisahnya akan berbeda. Itulah hikmah tersendiri atas keputusannya berhenti bekerja (resign) dari RS itu. “Resign (karena) pas lanjut kuliah 5 bulan lalu,” tuturnya.
Wanita kelahiran Toli-Toli, Jumat, 12 Oktober 1990 ini, betul-betul meresapi dan mengambil pelajaran dari serentetan kejadian serta keajaiban yang dialaminya itu.
“Semoga saya yang diberikan kesempatan hidup ini dapat merasakan nikmatnya iman setelah ‘kiamat’ itu terjadi. Di tengah penderitaan luka dan duka, semoga kita dapat meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wata’la,” pungkasnya berpesan.*
Berita gempa dan tsunami Palu bekerjasama dengan Dompet Dakwah Media