Hidayatullah.com | Sawah seluas satu hektar milik Masduki itu terlihat berbeda dengan di sekitarnya. Bukan jenis tanamannya yang membedakan, melainkan adanya Light Trap Insect (LTI) yang merupakan salah satu inovasi putra bangsa di bidang energi terbarukan.
Di lahan yang ditanami bawang merah tersebut, tampak berdiri tegak 30 unit LTI. Satu unit rangkaian LTI terdiri dari satu panel surya kecil, lampu, tiang penyangga, baterai, regulator otomatis, pitingan, kap, dan baskom plastik berwarna hitam.
“Jarak antara satu LTI dengan LTI lainnya sekitar 15 sampai 20 meter,” ujar Anang, putra sulung Masduki, sambil menunjuk ke salah satu LTI di bagian selatan sawah yang ada di Desa Sanjen, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur ini.
Pagi menjelang siang pada akhir Agustus (31/8/2021) lalu, awak hidayatullah.com diajak Anang untuk menyambangi sawah yang dikelola kedua orangtuanya sejak tahun 1985 itu. Di pojok atas bagian utara sawah, terlihat tujuh wanita bercaping sedang mencabuti daun bawang merah yang digerogoti serta dihinggapi oleh ulat.
“Dari jam 7 pagi sampai menjelang Zhuhur,” ujar salah satu di antara mereka saat ditanya kapan memulai dan selesainya rutinitas di lahan terasiring tersebut.
Sawah milik pensiunan Polri inipun menyajikan pemandangan yang menawan. Di bagian barat dan selatan, dibatasi jalan berbatu selebar dua meter. Sedangkan di bagian timur dan utara, dibatasi sawah orang lain. Jika beruntung—tidak tertutup oleh awan—ketika berdiri pada ruas jalan bagian barat dengan tubuh menghadap ke timur, maka pengunjung dapat menikmati gagahnya pesona Gunung Welirang.
Kawasan Pertanian yang Sehat
Sebelum terjun ke sawah, hidayatullah.com dijamu oleh Masduki di keiamannya. Saat itu, ia juga tengah menerima seorang tamu, Susanto—pria asal Nganjuk Jawa Timur yang menciptakan LTI atau lampu perangkap hama ini.
“Alhamdulillah dengan adanya alat ini (LTI,-red) sangat membantu petani, apalagi saat musim begini,” jelas Masduki, seraya menyungging senyum. Ia pun mengaku senang karena merasa terbantukan dalam mengatasi salah satu persoalan utama para petani bawang merah, yakni hama.
Susanto menjelaskan, LTI merupakan lampu perangkap hama yang efektif, efisien, selektif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Efektif dan efisien karena bertahan sampai dua tahun. Selektif karena hanya menjebak hama tanaman, sedang musuh alami seperti laba-laba, kumbang, dan sejenisnya tidak akan terganggu.
“Berbeda saat menggunakan pestisida, baik itu hama ataupun musuh alami yang tidak mengganggu tanaman juga akan menjadi korban,” katanya.
Pria kelahiran Nganjuk, 11 April 1977 ini mengatakan, bahwa ada beberapa jenis hama yang bisa dikendalikan dengan lampu ini, di antaranya kupu-kupu, ngengat, wereng batang coklat (WBC), trips, orong-orong, dan kepiding tanah. LTI, katanya, bekerjanya pada saat malam hari. Lampunya akan menyala secara otomatis sejak matahari terbenam hingga terbit fajar.
“Saat matahari terbit, lampu akan mati. Lalu, ganti panel surya yang akan bekerja untuk mengisi baterainya,” imbuh Susanto sambil menyeruput segelas kopi hitam.
Peraih Juara I Teknologi Tepat Guna (TTG) Tingkat Provinsi Jatim (LITBANG, 2015) ini mengatakan, saat lampu menyala, maka akan mengeluarkan cahaya berwarna keunguan. Cahaya inilah yang akan menarik hama agar mendekat kemudian jatuh ke dalam baskom yang telah diisi dengan air bercampur deterjen.
“Lampu ini bekerja setiap hari sehingga populasi hama akan terus berkurang, dan bahkan bisa memutus siklus perkembangbiakannya, sehingga tanaman terkendali dari serangan hama,” jelasnya.
Dari satu lampu, kata Susanto, dalam sehari mampu menjebak 30 sampai 40 ekor hama bawang merah. Jika dipasang 30 lampu, maka tinggal mengalikan rata-rata jumlah hama yang terperangkap dalam 1 x 24 jam tersebut.
Duta Petani Andalan Kementerian Pertanian (Kementan) RI ini menambahkan, LTI mampu mengendalikan hama pada tanaman pangan seperti kedelai, jagung, serta padi; tanaman holtikultura seperti bawang merah, cabai, dan kubis; atau tanaman perkebunan seperti salak, nanas, jeruk, kakau, kopi, dan sebagainya.
“Adapun kebutuhan lampu untuk satu hektar tanaman bawang merah, adalah 30 unit. Itu jika penerapan sendiri. Tetapi jika berbasis hamparan dibutuhkan 25 unit saja,” imbuhnya.
Sedangkan kebutuhan untuk satu hektar tanaman pangan yaitu sebanyak 12 unit, dan kebutuhan untuk satu hektar tanaman perkebunan, adalah sebanyak 15 unit.
Paling menarik, masih jelas Susanto, adalah keunggulan dari penggunaan lampu perangkap hama untuk pertanian. Pertama, mampu mengendalikan hama pada sumber masalahnya. Kedua, tidak membuat hama kebal. Ketiga, mengendalikan hama secara efektif, berkelanjutan, dan tanpa memerlukan aliran listrik. Terakhir, tempat pemasangannya bisa dipindah-pindah atau bongkar pasang.
“Nah, dampak positif dari penggunaan LTI adalah, melahirkan kawasan pertanian yang sehat,” ujarnya tersenyum.
Kok bisa? Susanto menjelaskan, karena petani tidak perlu menggunakan pestisida untuk membasmi hama. Hal itu akan membuat tanah menjadi tak terkontaminasi. Apalagi ditambah dengan penggunaan pupuk kompos kotoran ternak. “Petaninya juga sehat. Masyarakat yang mengkonsumsi hasilnya, pun ikut sehat,” harapnya.
Lebih Menghemat Biaya
Bagi kebanyakan petani bawang merah, pestisida memang sudah menjadi modal utama dalam pengendalian hama. Kalau tanaman bawang merah sudah “mandi” pestisida, kata Susanto, akan sangat memengaruhi kualitas hasil panennya.
“Dan efeknya bagi kesehatan tubuh kita ketika mengkonsumsinya, itu mengerikan sekali,” tegas Susanto mengingatkan para petani sekaligus juga masyarakat luas.
Ketua Pusat Pelatihan Pertanian serta Pedesaan Swadaya (P4S) Joglo, Nganjuk, ini pun berharap kepada para petani minimal bisa mengurangi penggunaan pestisida, kalau memang belum mampu meninggalkan sepenuhnya.
Selain tidak aman, katanya, penggunaan pestisida juga membutuhkan biaya besar kalau dibandingkan dengan memasang lampu perangkap hama. Satu LTI harganya 400 ribu rupiah. Namun jika beli dalam jumlah banyak, ia kasih harga 380 ribu per unitnya. Atau bisa juga sesuai dengan tipe yang disediakan (tipe A dan B).
“Untuk pemakaian LTI memang butuh biaya besar di awal, namun jangka panjang dan bisa berkelanjutan,” ujar Susanto yang memiliki kompetensi di bidang strategi pengendalian hama.
Hal itu dibenarkan oleh Masduki. Ia memerinci biaya dari penggunaan pestisida. Kalau dihitung-hitung, jauh lebih tinggi biaya penggunaan pestisida dibandingkan dengan pemasangan LTI. Sepekan minimal ia harus menyemprotkan pestisida dua kali ke tanamannya.
“Satu botol itu harganya 490 ribu rupiah. Isinya satu liter. Belum lagi transportnya karena beli di Nganjuk. Belum lagi ongkos tenaga, dan lainnya. Tapi, alhamdulillah sejak pakai LTI bisa lebih menghemat biaya,” kata Masduki, lagi-lagi menyungging senyum khasnya.
Apalagi setelah membongkar dan mempelajari komponen yang terdapat pada LTI, putranya mengaku dapat merakitnya sendiri. Tentu akan jauh lebih hemat lagi. Ia berencana ingin membuat LTI yang lebih sempurna lagi. “Saya pingin tambahkan komponen yang bisa bikin cut off kalau baterainya sudah penuh,” kata Anang.
Kini, Anang sedang mengkalkulasi biaya produksi. Beberapa bagian sudah ketemu hitungannya. Terkait harga, semaksimal mungkin ia tekan hingga di bawah angka 300 ribu per unit, agar meringankan petani lain yang juga ingin menggunakannya.
Terkait pestisida, Susanto menambahkan, para petani kadang tidak hanya pakai satu jenis pestisida. Namun bisa tiga sampai lima macam, dicampur menjadi satu. Untuk di Nganjuk, satu tangki terisi pestisida dengan nilai sebesar 200 ribu rupiah. Padahal, untuk lahan seluas satu hektar katanya dibutukan sekitar 25 tangki.
“Di Nganjuk hitung-hitungan hari ini untuk kebutuhan pestisida itu minimal habis 20 juta, maksimal 60 juta rupiah. Itu sekali panen dengan luas sawah satu hektar,” beber Ketua Gerakan Petani Nusantara (GPN) Kabupaten Nganjuk ini.
Potensi Energi Masih Sangat Melimpah
Indonesia termasuk salah satu negara yang dianggap kaya akan energi terbarukan dengan potensi lebih dari 400.000 Mega Watt (MW). Nah, 50 persen di antaranya, atau sekitar 200.000 MW adalah potensi energi surya.
Namun, dari keterangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), pemanfaatan sumber energi tersebut masih jauh panggang dari api. Alias sangat minim serta tidak sesuai dengan harapan, yaitu baru 150 MW atau sekitar 0,08% dari potensi yang ada.
“Potensi energi amat melimpah di Indonesia karena kita berada di wilayah tropis,” terang Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM, Dadan Kusdiana, ketika dihubungi hidayatullah.com via pesan whatsapp, pada Ahad (5/9/2021) siang.
Dadan menambahkan, untuk pemanfaatannya yang paling umum adalah melalui solar panel dan mengkonversinya jadi listrik. Setelah jadi listrik, pemanfaatannya menjadi sangat luas baik untuk keperluan penerangan, industri, dan juga kegiatan pertanian sebagaimana yang telah dilakukan oleh Masduki.
Ia pun mengapresiasi lahirnya lampu perangkap hama (LTI) yang memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber energi. “Ini aplikasi tenaga surya yang sangat baik, membantu kebutuhan para petani, terutama untuk sawah-sawah yang lokasinya jauh dari jaringan PLN atau perumahan penduduk.”
“KESDM terus berupaya dalam penyediaan energi. Energi surya untuk keperluan rumah tangga, penerangan jalan umum, dan pengembangan solar atap,” pungkas Dadan mengakhiri perbincangan.*