Hidayatullah.com—Suatu pagi, di hari Rabu, dan baru mendapatkan balasan darinya. “Alaikum salam,” bagitu ia membalas melalui pesan singkat (SMS). Ia berkata bahwa ia baru saja kembali dari Palestina, dan malam itu sedang berada di Malang, akan tetapi ia akan kembali ke ITS keesokan harinya. Karena sudah larut malam, saya tidak segera membalasnya.
Siang, sekitar pukul 11 keesokan harinya ia mengontak saya kembali. Ia menyarankan untuk bertemu pada hari Jumat setelah shalat Jumat. Saya mengundangnya ke kantor, karena saya juga merasa tidak adil bagi saya seorang untuk mendengarkan ceritanya.
Seluruh teman di kantor menyambut gembira. Hari itu, kami mendapat kunjungan teman ‘luar biasa’. Dialah Nidal Abdel-Karim Mohammad al-Jabari, seorang mahasiswa asal Palestina yang sedang menempuh program S3 di Teknik Elektro ITS. Nidal, berasal dari al-Arroub, Hebron, Tepi Barat, tempatnya mengajar di Palestine Technical University sebagai Ketua Jurusan Computer Science. Ia juga seorang instruktur di Al-Quds Open University.
Nidal baru saja mengakhiri semester pertamanya yang dimulai pada Desember tahun lalu. Kedatangannya, tak lain untuk berbagi cerita tentang kondisi Palestina yang telah lebih dari 60 tahun diduduki Zionis-Israel.
“Sebenarnya Israel adalah negara yang sangat kecil dan lemah. Sebuah negara Arab yang makmur dapat menghancurkannya dalam waktu kurang dari 24 jam. Yang menjadi masalah adalah bahwa negara Israel didukung oleh banyak pihak. Melawan Israel berarti melawan 30-40 negara,” ujar Nidal mengawali ceritanya yang tidak dapat saya lupakan.
Ia ingin meluruskan dulu pandangan kebanyakan orang bahwa perang tersebut merupakan perlawanan antara Palestina dan Israel.
Menurutnya, perang ini sudah berlangsung sangat lama, dan permasalahannya telah menyurut secara bertahap-tahap. Nidal menceritakan sejarah perang sangat bertahap. Mulai Perang Salib, perang Arab-Israel, hingga yang terjadi sekarang di mana ada misi Zionis Israel yang ingin menghabisi wilayah Palestina.
“Israel hanya merupakan sebuah pangkalan militer dari negara tersebut,” ujarnya. Secara tidak langsung, perang ini merupakan perang antara Palestina dengan Amerika Serikat, tambah Nidal.
Sebagai warga asli Palestina, Nidal menyadari bagaimana politik internasional, khususnya Amerika dalam masalah Palestina.
“Setiap Presiden Amerika bercita-cita untuk menuntaskan permasalahan di Timur-Tengah. Tetapi sampai sekarang, meskipun dengan posisi mereka sebagai sebuah negara adikuasa, tidak pernah berhasil.”
Karena itu, Nidal tak yakin kasus Mavi Marmara dan para relawan Freedom Flotilla bisa menyeret Israel atau setidaknya didudukkan secara adil.
“Saat ini seluruh dunia mengecam Israel. Tetapi apa yang akan terjadi? Mungkin mereka akan mengadukannya kepada PBB, PBB akan membawanya ke mahkamah besar, lalu Amerika akan menggunakan hak vetonya… nothing. Mereka tidak akan pernah membiarkan perang ini selesai,” ujarnya terdengar getir.
Sebagai orang Palestina, Nidal paham betul apa itu istilah “perundingan” yang sering kali digunakan oleh Amerika dan Israel.
“Ketika di dalam ruangan, para tentara Israel akan bersikap baik, tetapi ketika keluar, selang beberapa waktu saja dari perundingan tersebut, Anda akan mendapati sikap yang sama sekali berbeda dan jelas-jelas melanggar perundingan yang telah kami lakukan,” ujarnya.
Kehidupan yang getir
Sejenak, Nidal merekam kehidupannya dan bagaimana penderitaan saudara-saudaranya di pendudukan. Menurutnya, kehidupan di negeri itu sangat tak menentu.
“Para tentara Israel, ketika mereka ‘marah’, mereka akan melakukan blokade-blokade seenak perutnya. Ia lantas mengambil dua gelas air minum, satu diletakkan dekat dengan dirinya, “Ini adalah rumah saya,” ucapnya. Satu lagi ia letakkan di tengah-tengah meja, “yang ini tempat kerja saya.” Ia menggambarkan bagaimana ia bisa mengambil rute berbeda-beda menuju kedua tempat tersebut setiap harinya akibat blokade Israel.
“Lalu bagaimana Anda bisa tahu kapan mereka ‘marah’ atau tidak? Bagaimana Anda bisa hidup seperti itu?” tanya saya bertubi-tubi.
“Kami tidak pernah tahu. Kami tidak pernah hidup dengan rutinitas sehari-hari layaknya orang-orang lain. Yang jelas, setiap kali orang-orang Palestina hendak keluar rumah, kami selalu melakukan wudhu’,” ia berkata. “Karena kami tidak pernah tahu apakah kami dapat kembali atau tidak,” alasannya terdengar simpel.
Saya tidak tahu bagaimana reaksi rekan-rekan saya yang tengah mendengarkan Nidal. Tapi saya sendiri jelas merinding mendengar kata-kata tersebut. Nidal sendiri tidak menampakkan emosi apapun. Sorotan matanya yang tajam tidak menyurut, maupun berpindah fokus dari kami. Suaranya jelas dan tegas. Memang, sesekali ia seolah merenung, menatap gelas air minumnya yang kosong dan bermain-main dengan sedotannya.
Saya menaruh hormat pada pribadinya tersebut. Rasa hormat itu bertambah lebih ketika ia bercerita mengenai pengalamannya hidup di Italia. Ia merasa tidak cocok dengan budaya rasis yang terdapat di negara tersebut.
“Terutama kami, sebagai orang-orang Palestina, selama hidup kami tidak takut untuk challenge our situation, menantang situasi di sekitar kami (yang tidak berkenaan dengan kepercayaan mereka).”
Ia menjelaskan bagaimana ia sering berurusan dengan polisi, bahkan dengan orang-orang yang yang tidak dikenalnya karena masalah rasisme tersebut.
Ketika ia sudah sampai pada waktu yang cukup untuk mendapatkan paspor kewarganegaraan Italia, ia mengurungkan niatnya. “Saya tidak mau kembali ke negara itu lagi,” ujarnya.
Tapi ia begitu merasa nyaman ketika berada di Indonesia. Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang jauh lebih menyenangkan daripada Italia.
Meski jauh dari rumah, ia tidak pernah merasa khawatir meninggalkan keluarganya di wilayah pendudukan. “Keluarga saya ditinggal bersama seluruh keluarga lainnya.” Ia setengah tertawa menjelaskan bahwa memiliki 200 orang keluarga ‘kecil’ yang terdiri dari sekitar 10000 orang lainnya yang disebutnya sebagai ‘keluarga besar’.
Menurutnya, ada tiga alasan tak membuatnya kembali ke Palestina terburu-buru.
Pertama, masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Seorang istri dan empat orang anak yang ia tinggalkan di negaranya tersebut sering diserang di rumahnya oleh para pendatang Israel yang menetap di daerah tersebut. Orang-orang Israel sering menghujani rumahnya dengan batu, bahkan dengan senjata tajam. Akibatnya, Nidal segera membangun sebuah tembok yang mengelilingi rumahnya untuk melindungi keluarganya.
Selain masalah tersebut, keluarganya juga ternyata mengalami masalah finansial. Nidal mengatakan sangat susah untuk mencari pinjaman uang bagi keluarganya tersebut dari orang lain. Alasan ketiganya adalah untuk mencari data bagi tesisnya dari Open University tempatnya mengajar.
Tesis Nidal berjudul “Agent-Based Adaptive Discussion Room” (ABADR). Dalam tesisnya itu, Nidal ingin menuntaskan beberapa problem yang dihadapi oleh para dosen maupun mahasiswa dari sebuah Open University (pembelajaran tingkat universitas berbasis e-learning) agar pembelajaran di dunia maya tersebut bisa lebih dinamis melalui penggunaan intelligent agents.
Meski ia berada nun jauh dari tempat tinggalnya, Nidal tak pernah semenitpun melepaskan perhatian pada negerinya.
“Perang ini hanya bisa dituntaskan dengan salah satu pihak menghancurkan pihak lainnya,” ujarnya.
Tetapi bagaimana jika Gaza dihancurkan, sementara ia masih berada di sini?
“Gaza tidak akan pernah mati. Ada sekitar satu juta orang di Gaza saat ini, dan jumlah itu terus bertambah. Israel mungkin dapat membunuh beberapa puluh ribu orang dalam satu serangan. Tetapi mereka tidak akan pernah bisa menghancurkan Gaza,” ucapnya optimis.
Nidal sempat mengenang bagaimana Palestina zaman dahulu, sebelum ia pergi ke berbagai tempat di dunia dan sebelum Israel menghancurkan semuanya.
“Banyak orang yang datang ke Palestina dan terkagum-kagum melihatnya, karena Palestina mempunyai sekolah-sekolah, jalan-jalan, dan infrastruktur yang bagus. Meskipun dihantam perang, pemerintahan dengan cepat memperbaikinya kembali.”
Dulu, untuk ke Gaza yang berjarak 30 menit dengan perjalanan mobil dari Tepi Barat, merupakan kawasan yang mudah dicapai dan terkenal dengan pantai kuningnya (Yellow Beach). Tapi kini, ia hanya merupakan sebuah strip sebesar 10 x 22 km yang diblokade dari berbagai arah.
Tepi Barat sendiri, meskipun tidak dalam kondisi seburuk di Gaza, sudah tidak sebebas dulu lagi.
“Kadang-kadang saya sedih, karena merasa keluarga saya hidup dalam penjara. Apalagi anak-anak saya, yang tidak bisa melihat dunia luar,” ujarnya mengakhiri pembicaran dengan kami.
Banyak pertanyaan saya dan rekan-rekan jurnalis yang ingin disampaikan. Sayang ia sudah punya acara lain sore itu. Meski demikian, ia mempersilakan kami untuk berkunjung kapan saja ke laboratoriumnya di jurusan Teknik Elektro ITS tempat ia menghabiskan hampir seluruh waktunya.
Saya tetap menjalin kontak dengan Nidal. Beberapa hari kemudian ia mengirim sebuah e-mail yang berisi keinginannya untuk membina hubungan masyarakat Indonesia dengan warga Palestina. [Lisana Shidqina, jurnalis ITS Online. Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya di ITS Online]