Hidayatullah.com–Usai menunaikan shalat isya, Abdul Rahman, seorang warga India berusia 40an tahun duduk memegang sebuah pena sambil berpikir di ruangannya. Kepalanya penuh ide untuk buku yang sedang ditulisnya berjudul “Pandit bane Musalmaan” (pendeta Hindu menjadi Muslim) dalam bahasa Hindi.
Pria ini bekerja sebagai penjaga gudang di Binladin BTAT Construction Company yang menggarap Proyek Waqaf Raja Abdulaziz di depan Masjidil Haram, Makkah.
Sebelum tiba di Jeddah pada 21 Mei 2002 dan memeluk Islam, Abdul Rahman dikenal dengan nama Sushil Kumar Sharma. Dia berasal dari Amadalpur, sebuah desa kecil di sebelah utara negara bagian Haryana. Dia dilahirkan dalam sebuah keluarga Hindu Orthodoks yang bertugas menyelenggarakan ucapara keagamaan di kuil desa.
Saat berada di asrama yang disediakan perusahaannya di Jeddah, salah seorang temannya memberikan buku-buku Islam dalam bahasa Hindi.
Kemudian, Abdul Rahman dipindahtugaskan ke Riyadh untuk menggarap proyek Universitas Putri Noura, perguruan tinggi khusus wanita terbesar di dunia.
Teman-teman satu asramanya yang memperkenalkan Islam kepada Abdul Rahman. Terutama teman satu kamarnya asal Rajastan (negara bagian di baratlaut India), Salim.
Sahabatnya itu sering menceritakan kisah-kisah nabi Islam dan menyampaikan hadits-hadits Nabi Muhammad saat mereka istirahat atau di waktu luang.
“Hatiku bergetar. Aku mulai bertanya pada diri sendiri, apa yang akan terjadi padaku setelah mati? Apakah dosa-dosaku akan memasukkanku ke dalam neraka? Aku takut akan azab kubur yang ditimpakan kepada orang-orang yang berdosa dan kafir,” kenangnya.
“Aku jadi mulai sulit tidur. Aku tahu itu adalah saatnya untuk menjadi pengikut sejati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setidaknya, pencarianku akan kebenaran akan berakhir di sini.”
“Keesokan harinya aku menceritakan tentang keinginanku untuk memeluk Islam kepada Salim dan teman-teman lain di kamp. Semua orang menjadi gembira, mereka memelukku dan memberiku selamat.”
Abdul Rahman melihat Islam sebagai agama yang mengakui persaudaraan universal. Dalam Islam tidak ada kasta, tidak ada peredaan warna kulit, ras, ataupun asal-usul seseorang. “Itulah yang menarikku masuk Islam,” ujarnya.
Di Kantor Dakwah di Al-Batha, Riyadh, Sushil Kumar kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bimbingan imam masjid di kamp tempat tinggalnya. Sushil Kumar lalu mengganti namanya dengan Abdul Rahman, seperti saran imam tersebut.
Setelah itu Abdul Rahman dipindah ke proyek jalan raya di Bahra, dekat jalan yang menghubungkan Makkah-Jeddah. Pimpinan proyek di sana sangat baik kepada Abdul Rahman, karena mengetahui dia adalah seorang mualaf.
“Tapi aku sangat ingin berada dekat Allah. Aku berdoa agar dipindah ke Makkah,” kata Abdul Rahman.
Ternyata doanya itu terkabul, dia pun kemudian dipindah ke Proyek Waqaf yang berada tepat di depan Masjidil Haram.
“Sekarang aku punya tugas besar; mengajak keluargaku memeluk Islam,” kata Abdul Rahman yang memiliki seorang istri dan dua orang putra berusia remaja.
“Aku sudah menyampaikan kepada mereka lewat telepon bahwa aku sudah menerima Islam dan menjadi Muslim. Awalnya mereka tidak percaya. Istriku berkata bahwa dia akan membuat keputusan jika aku kembali ke India saat liburan. Setiap hari aku berdoa meminta agar Allah menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan melebutkan hatinya agar menerima Islam,” kata Abdul Rahman dengan air mata berlinang.
“Aku juga mungkin akan menghadapi banyak tentangan dari saudara, teman dan warga desa. Tapi aku bersikukuh untuk menghadapi mereka. Aku yakin Allah akan membantuku.”
Abdul Rahman mengajak non-Muslim agar menerima Islam, agar sukses dunia dan akhirat.
“Yang juga menyedihkan adalah aku melihat begitu banyak Muslim tidak menjalankan Islam sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad. Aku mengajak mereka agar berhenti dari meniru orang lain,” pungkas Abdul Rahman.*