“Ngapain pulang ?! Pergi sana! Gak usah kembali-kembali lagi!,” Sengat bapak kepadaku dengan muka memerah.
Di lain sisi, Aku hanya bisa terdiam dan menunduk. Namun seperti biasa, nasehat-nasehat/teguran-teguran yang beliau sampaikan kepadaku baik itu dengan cara lembut ataupun kasar semisal hardikan di atas, sama sekali tidak membekas.
Ya, tak ubahnya seperti istilah yang sering diucapkan orang; “Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.” Atau, “Anjing menggonggong kafilah berlari.”
Itulah respon yang alu berikan ketika kedua orang tuaku ataupun siapa saja berusaha menasehatiku untuk menghentikan kebiasaan burukku.
Ya, salah pergaulan telah membuat masa laluku penuh dengan kesia-siaan. Bergaul dengan pemuda-pemuda yang suka hura-hura, membuatku ikut terjerumus ke dunia yang tak semestinya.
Menghabiskan waktu malam di pinggir jalan dengan di temani gitar telah menjadi rutinitas. Terlebih kalau sudah ada konser musik/orkes di suatu tempat, meski jauh akan kami sambangi. Apa lagi kalau bukan bertujuan untuk berhura-hura.
Bergabung dengan komunitas pecinta musik aliran keras, semakin memperosokkan diri ke jurang penistaan.
Keuntunganku waktu itu hanya tidak ikut-ikutan teman untuk menum-minuman serta menghiasi tubuh dengan berbagai gambar (tato), meski sering dipaksa melakukannya.
Dengan pilihan gaya hidup seperti ini, maka sudah bisa ditebak, bagaimana kondisi keagamaanku. Sholat jarang kutegakkan. Mengaji pun terbata-bata.
Padahal, ayahku adalah seorang ustadz. Beliau adalah guru ngaji desa. Beliau lulusan pesantren. Namun jalan hidup yang kutempuh sangat berseberangan dengan prinsip – prinsip yang beliau pegang.
Hingga suatu hari, ada tawaran datang kepada ayah dari seorang sahabatnya untuk mencari pemuda yang berhasrat melanjutkan studinya (kuliah) di salah satu pesantren yang miliki perguruan tinggi. Disampaikan bahwa seluruh biaya akan ditanggung alias gratis, tis.
Singkat cerita, ayah menawariku untuk mengambil kesempatan itu. Terang aku menolak. Ditambah lagi mendengar kalimat ‘pesantren’. Semakin menguatkan keenggananku.
Namun, kalimat terakhir ayah benar-benar membuatku termangu. Sepontanitas seolah aku terhanyut, terbawa ke dalam pikirannya, yang kemudian membuatku tidak berdaya untuk membenarkan dan mengiyakan permintaannya.
“Abdullah,” ucapnya dengan nada lembut, “Coba perhatikan masjid dekat rumah kita itu. Kalau kamu tidak juga mau mengambil kesempatan itu, lalu siapa gerangan kelak yang akan menghidupkan masjid itu.”
“Dan juga perhatikan,” tambahnya, “TPA (Tempat Pembelajaran Al-Qur’an) di sampingnya. Siapa yang akan melanjutkan perjuangan untuk mengajar anak-anak mengaji, kalau kamu juga enggan untuk mengajar mereka.”
Kalimat-kalimat yang beliau sampaikan benar-benar menggugah kesadaranku dengan apa yang terjadi di desaku dan pada diriku.
Soal masjid yang beliau sebutkan itu. Aku faham betul bahwa beliaulah satu-satunya orang yang berupaya menjaga ‘kehidupan’ masjid itu. Acap kali beliau harus azan, sholawatan, iqomah, dan menjadi imam sekaligus sebagai makmumnya seorang diri.
Pun demikian dengan TPA. Selain (juga) berjuang seorang diri untuk mengajar, beliau juga mendapati kenyataan minimnya minat anak-anak untuk belajar mengaji. Celakanya, di antara orang tua juga kurang perhatian tentang hal yang satu ini. Buahnya, hari berganti hari jumlah murid semakin berkurang.
Sedangkan yang terakhir, terkait dengan diriku, akupun menyadari jauhnya idealitas yang diharapkan ayah kepada diriku dengan realitas yang ada. Ini juga menjadi bahan renunganku.
“Akankah aku terus menerus seperti ini?, tanyaku membatin.
Pada kesimpulannya, aku menerima tawaran ayah itu. Aku bersedia masuk pesantren.
Dan Subhanallah. Aku sangat bersyukur bisa masuk pesantren. Selain mendapat pencerahan tentang ilmu agama, di sanapun aku dapati pola hidup nan islami yang menenangkan jiwa.
Menjaga sholat jamaah, sholat lail, puasa sunnah (Senin dan Kamis) di antara amalan yang senantiasa kami jaga.
Sedikit demi sedikit aku coba melebur segala keburukan yang pernah kukerjakan dan menggantinya dengan amalan-amalan kebaikan. Segala hal yang berbau dengan masa lalu kutinggalkan, tak terkecuali gambar wall paper media sosial (medsos) yang kumiliki.
Dulunya bergambar anak mental yang sekujur tubuhnya di penuhi dengan tato, kini kuganti dengan kalimat agung yang berat timbangannya melebihi berat langit dan bumi serta seisinya, yaitu: Laa ilaaha illaah.
Juga demikian dengan status-status yang kuunggah. Kini telah berubah total, hanya mengajak untuk kebaikan; “Gunakanlah medsos untuk berdakwah, karena itu juga berpeluang untuk menjadi wasilah orang mendapat hidayah Allah. Dan itu ganjarannya sangat besar.”
Itulah kalimat yang pernah kuterima dari seorang ustadz di pesantren yang kemudian semakin menguatkanku untuk menanggalkan pernak-pernik masa lalu, meski hanya sekedar pajangan di medsos.
Doaku, semoga aku bisa terus istikomah dan diberi kessabaran dalam menapaki jalan ini. Sebab memang tidak mudah bagiku. Batu sandungan masih kerap kudapati, baik itu berupa ejekan hatta makian dari teman-temanku terdahulu.
“Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ‘ala tho’atik” (Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu).*/Khairul Hibri, sebagaimana yang dikisahkan Abdullah (nama samaran) kepada penulis.