PADA tahun 1990-an, saya mendapat amanah untuk membuka atau tepatnya merintis sebuah pesantren di Sumenep, Madura. Singkat cerita, setelah diberi amanah tersebut, saya pun langsung berkemas-kemas untuk melaksanakannya.
Bersama istri dan buah hati yang baru berumur beberapa bulan, kami berangkat ke Pulau Garam, Madura, untuk turut menyiarkan cahaya Islam di sana.
Karena tidak ada tempat tinggal, kami pun mengontrak di salah satu rumah warga. Langkah pertama untuk mewujudkan misi yang diemban, saya galakkan silaturahim dengan warga sekitar, termasuk para tokoh dan aparat desa. Di rumah itulah kami bina anak-anak dari satu hingga puluhan jumlahnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah santri semakin membludak. Dengan demikian, sudah pasti asrama yang berupa rumah kontrakan itu tidak lagi memadahi. Muncul asa untuk membangun pesantren.
Sebelumnya, kami telah mendapatkan tanah wakaf dari seorang muwakif. Lahan inilah yang niatnya akan dijadikan area pesantren. Namun, mimpi itu terbentur dengan kondisi finansial. Pengurus tidak memiliki dana untuk memulai pembangunan.
Baca: Amalkan Sunnah Rasulullah, Ulama Terlindungi dari Kejahatan
Tak lama berselang, secercah harapan itu pun tiba, manakala ada informasi dari Kepala Bagian Sosial Kabupaten Sumenep, bahwa pemerintah provinsi (pemprov) saat itu telah menyetujui kucuran dana untuk bantuan sosial bagi masyarakat Jawa Timur.
Kepala Bagian itu menyarankan kami untuk membuat proposal bantuan, bila ingin meminta bantuan. Kami pun langsung mengerjakannya, sepulang kami dari kantor kabupaten.
Sudah menjadi syarat mutlak dari pengajuan proposal tersebut; harus mendapat tanda tangan atau persetujuan dari Bupati setempat. Di sinilah kami sempat tersandung batu ganjalan.
Betapa tidak, di saat proposal siap dihadapkan kepada bapak Bupati untuk meminta tanda tangannya, si asisten Bupati yang menjadi ‘palang pintu’ untuk menghadap Bupati berusaha menghalang-halangi kami.
Karenanya, kami harus bolak-balik pesantren-kantor pemerintahan hingga tiga kali. Bukan hanya itu kesulitan yang kami dapat. Ketika proposal telah dibubuhi tanda tangan Bupati dan diserahkan kembali kepada kami, si asisten berucap dengan ucapan yang sangat menohok, “Kalau pesantren bisa mendapatkan bantuan dari Gubernur, potong lidah saya!”
Selidik punya selidik, ternyata diketahui bahwa si asisten berperilaku demikian karena ia merasa pesantren itu telah menjadi pesaing lembaganya yang juga terjun di dunia sosial.
Kalimat yang diucapkan oleh si asisten sangat terngiang-ngiang di telinga. Kalimat itu bak mengandung pesan kurang sedap yang akan berefek di kemudian hari.
Di Luar Dugaan
Tak ingin ciut dengan ucapan tersebut, sesampainya di pesantren, kepada para santri saya berseru, “Mari kita galakkan shalat lail dan doakan semoga Allah membuka hati Bapak Gubernur untuk sudi membantu kelancaran pembangunan pesantren kita,” pintaku kepada mereka.
Akhirnya tibalah saatnya kami harus menghadap Gubernur. Sempat terjadi gemuruh dalam hati. Bagaimana pun juga, saat itu tahun 1990-an, wibawa pemerintah sangat mentereng, sangat berwibawa di depan publik, karena olesan Orde Baru yang sedemikian rupa.
Untuk menenangkan diri kami melakukan shalat dhuha, menghadap kepada Sang Maha Kuasa sebelum menghadap penguasa.
Sejujurnya dalam benak, saya memperkirakan bahwa bantuan yang akan cair waktu itu tidak lebih dari Rp 10 juta. Tahun itu, jumlah tersebut sudah cukup lumayan, mengingat harga-harga barang belum selangit seperti saat ini.
Setelah menghadap Sang Gubernur, kami langsung sampaikan hajat. Tak lupa proposal yang di tangan kami serahkan untuk dibaca.
Yang cukup mengagetkan saya pribadi, setelah mendengar penjelasan kami secara lisan dan membaca apa yang tertera di proposal, tanpa banyak tanya Gubernur langsung memanggil salah satu stafnya. Ia menanyakan tentang ketersediaan dana bantuan. Sang staf menjawab ada. Gubernur pun memerintahkan agar langsung menyairkan bantuan untuk kami.
Tahukah berapa jumlah uang yang diberikan kepada kami? Besarnya hingga mencapai Rp 200 jutaan. Jumlah yang sangat fantastis saat itu. Kami pun langsung bersujud syukur atas karunia Allah tersebut.
Dari bantuan itu, berdirilah enam lokal bangunan yang peresmiannya langsung dihadiri oleh Sang Gubernur tersebut. Sejatinya, dalam peresmian itu, selain Bupati, pihak pengurus juga turut mengundang sang asisten yang waktu itu pernah menghalang-halangi kami untuk meminta tanda tangan Sang Bupati. Tapi beliau tidak datang.
Dari kejadian ini, semakin mengakarlah keyakinan bahwa bantuan Allah itu sangatlah dekat bagi mereka yang dengan ikhlas berjuang membantu menegakkan kalimat-Nya di muka bumi ini. Semoga bermanfaat!* Khairul Hibri, sebagaimana yang dikisahkan oleh seorang ustadz asal Surabaya.