Hidayatullah.com | SEBAGAI seorang bartender di sebuah diskotik di Surabaya, saya sudah tak asing lagi dengan dunia malam. Hampir semua jenis minumam keras saya tahu. Tahu pula bagaimana cara menyajikannya kepada para pengunjung. Karena sering berinteraksi dengan banyak orang, saya cukup terkenal di kalangan penikmat diskotik.
Saya bergaul dengan banyak orang, dari anak muda hingga yang sudah berkepala lima, pria maupun wanita. Saya juga memiliki lumayan banyak followers di media sosial dan selalu memposting gaya hidup glamor dunia malam. Apa lagi saya salah satu personal band lokal yang cukup banyak penggemarnya.
Saya cukup lama berkecimpung di dunia malam. Tentu tak hanya sebagai penyaji minuman-minuman haram itu, saya juga peminum berat.
Dan, pergaulan malam ini membawa saya semakin jauh, ke lingkaran narkoba hingga kecanduan. Jika sudah menyentuh hal-hal haram itu, berbagai maksiat pun tak luput saya lakukan.
Sebagai bartender dan anak band, secara ekonomi tentu saja kebutuhan dan gaya hidup saya terpenuhi. Bahkan saya mentato badan hampir sekujur tubuh dan menindik telinga dan lidah saya sebagai gaya hidup anak dunia malam.
Setelah mendapatkan semua yang saya inginkan, saya sampai di titik dimana saya merasa bosan dan kebingungan tentang hal apa lagi yang harus saya lakukan dalam hidup ini. Memiliki seorang pendamping hidup pun kala itu bagi saya tak harus terikat pernikahan.
Rutinitas di dunia hiburan malam semakin terasa menjenuhkan. Sampai suatu hari di penghujung malam, saya bermimpi.
Saya terbaring kaku di sebuah pembaringan dengan kondisi tubuh yang pucat dan mulai membiru. Aroma busuk tercium menyengat dari tubuh saya penuh darah yang mulai mengering. Ratusan lalat menggrogoti tubuh saya. Tiba-tiba saya terbangun saat suara adzan subuh terdengar.
Hari itu saya merasa sangat ketakutan dengan kematian. Mimpi itu seakan nyata. Kehidupan saya mulai semakin tidak tenang. Saya belum tahu jalan keluarnya, akhirnya miras dan narkoba menjadi pelarian.
Mimpi itu tak langsung membuat saya sadar atau memutuskan berhijrah. Saya masih aktif bekerja di diskotik, meskipun perasaan mulai gundah dan takut jika nyawa saya diambil ketika sedang menyajikan miras kepada pengunjung.
Tak berjarak lama, saya kembali bermimpi. Kali ini saya dapati seorang wanita separuh baya terbujur kaku terbungkus kain kafan. Puluhan orang terlihat tengah melayat.
Saya pandangi wajah mayat itu baik-baik. Sosok yang tak begitu asing. Ibuku.
Kembali kumandang adzan Subuh membuyarkan mimpi burukku. Saya terbangun penuh ketakutan. Subuh itu saya menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba hati saya tergerak untuk bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke masjid terdekat.
Sampai di masjid saya merasa terasing. Tetapi, bukan karena orang-orang melihat saya dengan pandangan aneh penuh curiga karena badan penuh tato hingga wajah. Saya merasa terasing karena sudah lama tak pernah menginjakan kaki di masjid.
Saya bergegas mengambil wudhu dan ikut shalat berjamaah di masjid itu. Meskipun banyak bacaan shalat yang telah lupa, saya merasakan ketenangan. Sepulang dari masjid muncul tekad yang kuat di dalam hati untuk berubah, meninggalkan dunia malam.
Awalnya saya pikir hijrah semudah itu, ternyata banyak sekali halangan dan rintangannya. Meninggalkan pekerjaan yang selama ini telah memenuhi kebutuhan hidup memang terasa berat.
Apa lagi pria penuh tato seperti saya, bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan baik-baik nanti kedepannya? Belum lagi lingkungan sekitar saya yang menolak keinginan saya ingin hijrah.
Namun keinginginan berubah memperbaiki diri betul-betul kuat di hati. Saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan dunia malam dan teman-teman band. Saya pikir jika masih berlama-lama menunggu waktu, hijrah hanya menjadi wacana dan akan semakin terjerumus dan tenggelam di dunia kelam.
Keputusan ini saya bulatkan setelah membaca sebuah Hadits Naabi ﷺ yang berbunyi;
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (Riwayat Bukhari, no. 2101, dari Abu Musa)
Saya merasa Allah SWT mencintai saya. Meskipun harus memulai dari nol lagi, mencari-cari pekerjaan lagi.
Alhamdulillah saya dipertemukan dengan orang-orang baik, sebuah komunitas pemuda-pemuda hijrah. Saya menemukan keluarga baru yang selalu membimbing, memotivasi dan membantu menjadi Muslim yang baik.
Semenjak hijrah, saya rutin ikut kajian di beberapa tempat, ikut komunitas hijrah saling memotivasi dan menguatkan untuk istiqamah.
Saya menggambarkan dunia ini akan segera berakhir seperti sebuah toko, pemiliknya mengobral produk sebanyak-banyaknya. Allah SWT sedang mengobral hijrah seluas-luasnya kepada hambanya sebelum dunia ini berakhir.
Cukup kematian sebagai nasehat. Semoga semakin banyak orang-orang berhijrah dari dunia kelam dan istiqamah di jalan-Nya.
قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Az-Zumar: 53).*