Thola’al badru ‘alayna.
Min-tsaniyyatil wada’
Wajabasy syukru ‘alayna.
Ma da’a lillahi da’
Ayyuhal mab’u-tsu fiina.
Ji’ta bil amril mutho’
Anta ghow-tsuna jami’a.
Ya mujammalath thiba’
Bunyi shalawat Thola’al badru mengalun merdu ketika 37 kader dai memasuki ruangan, Sabtu (9/24/2011). Mereka mengenakan gamis panjang dan songkok yang serba putih. Langkah mereka tampak tegap dan mantap. Para tamu undangan sibuk memotret sekenanya dengan handphone. Alunan shalawat pun berhenti ketika mereka telah menempati tempat duduk.
Suasana ruangan yang terisi sekitar dua ratus lebih tamu undangan itu mendadak khidmah. Pandangan mereka fokus ke depan. Lebih-lebih ketika, M Gatot Manisya Abab, pembawa acara membuka prosesi sakral itu. Keramaian pun berganti suasana penuh haru.
Di antara tamu undangan yang hadir itu, Muhammad Sudding, ayah dari kader dai Abdurrahman Sudding salah satunya yang merasa paling bahagia. Sejak tadi, pandangannya tak pernah lepas dari anak tercintanya yang duduk di antara deretan kader dai di depannya. Tampak dilihatnya lekat-lekat dengan mata berkaca-kaca.
“Saya bangga dan bersyukur anakku sudah jadi sarjana. Dan lebih bersyukur lagi, sekarang dia menjadi dai yang akan ditugaskan keluar daerah,” ujar bapak asal Balikpapan, Kalimantan Timur ini kepada hidayatullah.com dengan mantap.
Dalam acara itu, bapak asal Sulawesi ini datang langsung dari Balikpapan, Kaltim bersama anaknya, Rauf. Meski ongkos tiket pesawat mahal, tapi karena acara itu penting maka dipaksakan datang.
“Saya usahakan untuk datang. Tapi, hanya dengan anak. Ibu nggak bisa ikut. Ia hanya titip salam saja,” tuturnya.
Menurut ayah lima anak ini, sudah sejak lama ia inginkan anaknya menjadi dai. Dai, katanya pekerjaan sangat mulia. Karena itu, usai selesai SMA, Abdurrahman Sudding dikirimkan ke STAIL Surabaya. Ia pun ikhlas dan pasrah bila mana anaknya ditugaskan ke daerah terpencil.
“InsyaAllah ikhlas. Dimana pun tempat tugasnya. Toh, Allah akan selalu menolongnya,” ungkapnya penuh yakin.
Jauh dekat baginya sama saja: sama-sama berjuang mendakwahkan Islam. Meski risiko akan jarang ketemu. Sejak kuliah selama empat tahun saja, katanya, Abdurrahman baru sekali pulang kampung. Apa ada rasa kangen?
“Tentu ada. Tapi toh bisa diobati dengan nelpon. Kangen itu sudah risiko perjuangan. Tak masalah,” ujar lekali paruh baya yang memiliki jenggot panjang dan putih itu.
Keinginannya agar anaknya menjadi dai betul-betul ditunjukkan Muhammad Sudding. Pasalnya, tidak hanya Abdurrahman, ia juga menguliahkan Rauf ke kampus yang terletak di Keputih, Surabaya itu. Kini Rauf duduk di semester lima.
“Saya berharap mereka semuanya menjadi dai, pejuang Allah,” harapnya.
Muhammad Sudding adalah warga pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan. Sehari-hari sibuk sebagai takmir masjid Arriyad dan dapur umum.
STAIL adalah Perguruan Tinggi milik organisasi Hidayatullah. Selain menyediakan program ekstensi (umum), PT ini juga menyediakan program khusus beasiswa (reguler). Untuk program reguler, mahasiswa mendapat beasiswa penuh selama kuliah dan mendapat program kaderisasi secara khusus.
“Jadi mereka tidak saja diwisuda, tapi juga ditugaskan ke daerah-daerah di seluruh Indonesia,” kata Ketua Bidang Akademik, Masyhud, M.Si.
Masa penugasan, kata Masyhud selama lima tahun, atau dihitung masa kuliah empat tahun plus satu tahun.
“Tapi itu secara formal untuk megambil ijazah asli. Kalau pengabdiannya diharapkan bisa seumur hidup mengabdi,” ujarnya.
PT ini baru memiliki dua jurusan, dakwah dan tarbiyah. Kini, ada seratus lebih mahasiswanya dari berbagai daerah.
Sejam lebih acara berlangsung, tapi waktu seolah lambat berputar. Muhammad Sudding dan orangtua kader dai lainnya tampak masih melihat anak mereka lekat-lekat ketika Ketua Bidang Pendidikan Hidayatullah, Drs. Ali Imron membacakan Surat Keputusan Penugasan.
Ada perasaan bak gado-gado di dada mereka: ya terharu, ya was-was, dan paling menggelitik, menegangkan! Pasalnya, hari ini anak mereka akan ditugaskan entah ke daerah mana. Dan, itu berarti bakal jauh dari mereka.
Ali Imron membuka map bersampul batik yang berisi SK sambil mendekatkan mikrofon ke mulutnya. Dengan mengucap basmalah, ia pun mulai membaca SK tersebut. Peserta mendengrkan penuh khidmah. Wajah kader dai terlihat tegang.
Usai membacakan SK, ia memberikan pesan singkat. Katanya, ada tiga kunci sukses bagi kader dai di tempat tugas. Yaitu: jujur, berani, dan bekerja keras.
“Jangan bermimpi sukses kalau tidak memiliki ketiga hal ini,” tegasnya.
Menurutnya ketiga hal tersebut kini jarang dimiliki anak bangsa. Karena itu, wajar bila Indonesia jauh tertinggal bila dibanding negara tetangga seperti, Singapura dan Malaysia.
Ia pun menceritakan pengalamannya beberapa waktu lalu ketika berada di pelataran Masjidil Haram, Makkah bertemu dengan orang-orang Melayu. Tahu jika ia datang dari Indonesia, mereka langsung mengucapkan kata terimakasih.
Imron bingung. Kenapa harus berterimakasih kepadanya? Tapi ia merasa kaget ketika orang Melayu dari Singapura dan Malaysia itu bilang, “Gara-gara banyak orang Indon di negeriku, negeriku menjadi bersih.”
“Tidak malukah kalian dengan ungkapan terimakasih itu,” tanyanya.
Imron pun menjelaskan kenapa Singapura dan Malaysia bisa maju, bahkan melebihi Indonesia.
“Mereka bekerja keras dan berani mengambil risiko. Kalau kalian ingin menjadi dai sukses, beranilah. Jangan takut mengambil risiko,” tegasnya.
Tepat pukul 10.30 acara yang dinanti-nanti akhirnya tiba: pembacaan tempat tugas kader dai. Rona wajah kee 37 kader dai yang duduk di pojok ruangan tampak berubah. Mereka merasakan sesuatu yang membuat jantung mereka berdebar-debar hebat.
“Ini detik-detik yang menegangkan,” ujar salah seorang tamu undangan.
MC pun memanggil satu persatu kader dai. Ia memanggil Syarif Hidayatullah, kader dai asal Sulawesi Barat. Beberapa detik Syarif mematung di atas panggung. Jantungnya seolah berdetak lebih cepat. Sebelum ketegangan itu meledak, MC pun melanjutkan lagi, “Syarif Hidayatullah, dengan daerah tugas, Papua Irian Jaya,”.
Syarif pun mengumandangkan takbir “Allahu Akbar” dengan mengepalkan tangannya ke atas. Diikuti teman-temannya. Tapi, tidak semunya mengucapkan takbir taklala dibacakan tempat tugas. Ada yang hanya diam, berkata “Subhanallah”, “Alhamdulillah,” dan ada juga yang sujud syukur.
Akhirnya teka-teki tempat tugas terjawab sudah. Ada yang di Papua yang terkenal nyamuk malariannya, ada yang di Ambon kota yang baru saja terjadi konflik, dan ada juga yang Sumatera. Meski berat melepas anak mereka, umumnya para orangtua pun lega.
Acara diakhiri dengan pembacaan lagu “Selamat Tinggal Sahabatku” dari Izzatul Islam. Suara mereka terdengar serak. Terlihat ada yang mengalir bening dari kelopak mata mereka.
Selamat tinggal sahabatku
Ku kan pergi berjuang
Menegakkan cahaya Islam
Jauh di negeri Seberang
Selamat tinggal sahabatku
Ikhlaskanlah diriku
iringkanlah doa restumu
Alloh bersama slalu
Kuberjanji dalam hati
Untuk segera kembali
Menjayakan negeri ini
Dengan ridho Ilahi
Selamat tinggal sahabatku
Ku kan pergi berjuang
Menegakkan cahaya Islam
Jauh di negeri Seberang
Selamat tinggal sahabatku
Ikhlaskanlah diriku
iringkanlah doa restumu
Alloh bersama slalu
Kalaupun tak lagi jumpa
Usahlah kau berduka
Semoga tunai cita – cita
Raih gelar syuhada*